Murid yang Rendah Hati dan Berani Menyuarakan Kebenaran

Sabtu, 13 Juli 2024 – Hari Biasa Pekan XIV

142

Matius 10:24-33

“Seorang murid tidak lebih daripada gurunya, atau seorang hamba daripada tuannya. Cukuplah bagi seorang murid jika ia menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba jika ia menjadi sama seperti tuannya. Jika tuan rumah disebut Beelzebul, apalagi seisi rumahnya.

Jadi janganlah kamu takut terhadap mereka, karena tidak ada sesuatu pun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui. Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah. Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.

Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekor pun darinya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Sebab itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga daripada banyak burung pipit.

Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di surga.”

***

Bacaan Injil hari ini masih tentang pesan-pesan Yesus kepada para murid-Nya. Yesus menekankan agar mereka berani menyuarakan kebenaran secara terbuka, tidak secara sembunyi-sembunyi. “Apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah.” Atap rumah adalah tempat yang tinggi dan terbuka. Artinya, pesan kebenaran harus disampaikan dengan jelas dan dengan suara yang kuat, agar bisa sampai di telinga orang-orang secara luas, sampai pula ke tempat-tepat yang jauh. Yesus menuntut keberanian yang radikal dari orang-orang yang diutus-Nya. Bukan sekadar berani mengungkapkan kebenaran, mereka harus mengungkapkan kebenaran itu secara powerful dan transparan!

Mengungkapkan kebenaran sering kali menjadi sesuatu yang sulit dan menantang, terutama ketika kebenaran itu berlawanan dengan kepentingan dan pendapat arus utama. Dalam sejarah, kita temukan banyak kisah mengenai orang yang berani menyerukan kebenaran, yang mana hidupnya kemudian berakhir dengan buruk. Ada yang diasingkan, diancam, bahkan dibunuh. Yesus adalah salah satu dari mereka. Ia berani menyuarakan kebenaran mengenai diri dan misi-Nya, dan itu membuat-Nya berakhir di kayu salib.

Menyuarakan kebenaran selalu mengandung risiko. Orang takut menyuarakan kebenaran karena tidak ingin mengambil risiko itu, sehingga mereka memilih diam, berpura-pura tidak mengenal kebenaran, atau bahkan menyangkalnya. Namun, menyangkal kebenaran sama artinya menyangkal iman kita akan Tuhan, sebab Dia adalah jalan, kebenaran, dan hidup (bdk. Yoh. 14:6). Kita beriman bukan untuk mencari aman, melainkan karena kita percaya akan apa yang diajarkan-Nya dan mau memberitakan-Nya ke seluruh dunia.

Yesus meneguhkan para murid agar jangan takut kepada apa pun selain kepada Allah yang memiliki kuasa sempurna atas kehidupan tubuh dan jiwa. Manusia memang cenderung takut terhadap hal-hal duniawi yang membahayakan dirinya, seperti celaan, kecaman, pengucilan, pengasingan, dan pembunuhan. Itu membuat kita sering gagal mengingat hal-hal surgawi, yakni kehidupan yang akan datang yang belum terlihat di saat ini. Yesus mengingatkan kita agar meletakkan kesadaran dan fokus secara benar. Kita harus berani mengungkapkan kebenaran, sebab kebenaran berasal dari Dia yang berkuasa membinasakan jiwa maupun tubuh. Sebaliknya, jangan takut akan ancaman terhadap tubuh, sebab tubuh kita ini fana belaka.

Yesus menambahkan bahwa orang-orang yang berani berjalan di dalam kebenaran akan selalu mendapatkan dukungan penuh dari-Nya. “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga.” Pesan terakhir-Nya adalah tentang kerendahan hati. Kebenaran itu tidak berasal dari manusia, tetapi berasal dari Tuhan sendiri. Para murid, sehebat apa pun karya dan kiprah mereka, hanyalah utusan yang selalu harus mengandalkan Tuhan. Jadilah sama seperti sang Guru, jangan berusaha atau berlagak lebih tinggi dari-Nya.