Markus 1:7-11
Inilah yang diberitakannya: “Sesudah aku akan datang Ia yang lebih berkuasa dariku; membungkuk dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak. Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus.”
Pada waktu itu datanglah Yesus dari Nazaret di tanah Galilea, dan Ia dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes. Pada saat Ia keluar dari air, Ia melihat langit terkoyak, dan Roh seperti burung merpati turun ke atas-Nya. Lalu terdengarlah suara dari surga: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.”
***
Di dalam kitab Yesaya, kita melihat kemurahan hati Allah dalam menyelamatkan umat manusia: “Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran!” (Yes. 55:1-11, bacaan pertama hari ini). Yang perlu dilakukan manusia adalah datang kepada Allah, kembali kepada-Nya, dan mendengarkan suara-Nya. Dengan itu, segala sesuatu yang dibutuhkan untuk keselamatan jiwa kita akan tersedia.
Allah ingin agar manusia selamat. Ia menginginkannya dengan sungguh-sungguh, dengan tekad yang kokoh, seperti tekad para petugas pemadam kebakaran yang bersemboyan “pantang pulang sebelum padam”. Tekad Allah digambarkan demikian: “Sebab seperti hujan dan salju turun dari langit dan tidak kembali ke situ, melainkan mengairi bumi, membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan benih kepada penabur dan roti kepada orang yang mau makan, demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya.” Allah tidak akan berhenti mewartakan sabda-Nya sampai sabda itu jatuh ke tanah, tumbuh subur, dan menghasilkan buah.
Yesus memiliki determinasi yang tak tergoyahkan seperti itu dalam bermisi di tengah dunia. Ia tidak setengah-setengah. Kemurahan hati dan totalitas Yesus membawa-Nya sampai pada puncak Golgota, menyatu dan memuncak dalam pemberian nyawa untuk keselamatan jiwa kita. Di dalam peristiwa pembaptisan Yesus, langit terbelah dan terdengar restu dari Allah, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” Sementara itu, dalam peristiwa penyaliban di Golgota, suara peneguhan dari Allah keluar dari mulut kepala pasukan yang menyalibkan Yesus, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” (Mrk 15:39). Bagi kita, menjadi orang yang dibaptis adalah menjadi orang yang mengikuti Yesus memanggul salib secara total, mewartakan Kabar Baik sampai tuntas.
Allah juga berbicara kepada kita, “Engkaulah anak-Ku yang Kukasihi, kepadamulah Aku berkenan.” Suara Tuhan inilah yang perlu terus-menerus kita dengarkan. Di dalam dunia yang bising, penuh persaingan, dan penuh tuntutan untuk tampil sempurna, suara Tuhan itu perlahan-lahan menjadi samar. Suara yang dominan adalah “kamu tidak bisa apa-apa”, “kamu tidak berguna”, “kamu orang gagal”, dan sejenisnya. Suara-suara sumbang ini membuat kita tidak bisa memberikan diri secara total dalam mewartakan Kabar Baik. Inilah tantangan sekaligus undangan bagi kita, yaitu masuk ke dalam doa dan keheningan, agar kita bisa mendengarkan suara Tuhan yang lembut, “Engkaulah anak-Ku yang Kukasihi, kepadamulah Aku berkenan.” Inilah identitas kita yang sejati, yaitu anak yang dikasihi. Diri kita sebagaimana adanya saat ini berkenan bagi Allah. Ini menjadi pegangan kita di dalam menapaki jalan salib hidup harian kita. Dengan berpegang pada sabda-Nya, kita dimampukan untuk memanggul salib, mewartakan Kabar Baik sampai tuntas.