Matius 10:17-22
“Tetapi waspadalah terhadap semua orang; karena ada yang akan menyerahkan kamu kepada majelis agama dan mereka akan menyesah kamu di rumah ibadatnya. Dan karena Aku, kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja sebagai suatu kesaksian bagi mereka dan bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah. Apabila mereka menyerahkan kamu, janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan, karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga. Karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Bapamu; Dia yang akan berkata-kata di dalam kamu.
Orang akan menyerahkan saudaranya untuk dibunuh, demikian juga seorang ayah akan anaknya. Dan anak-anak akan memberontak terhadap orang tuanya dan akan membunuh mereka. Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.”
***
Mungkin banyak di antara kita heran, mengapa peringatan kemartiran Stefanus diletakkan dalam oktaf Natal, bahkan persis sehari sesudah hari kelahiran Tuhan. Apakah tepat bahwa peringatan kematian diletakkan di tengah-tengah perayaan kelahiran? Apakah peringatan yang penuh dukacita ini tidak “merusak” sukacita Natal yang seharusnya penuh dengan tawa, keriangan, dan kegembiraan?
Jawabannya adalah tidak. Penempatan peringatan kemartiran Stefanus sesudah hari Natal sudah tepat, sebab demikianlah realitasnya bahwa kehadiran Tuhan sering kali tidak disambut dengan sukacita oleh manusia, melainkan dengan penolakan, kebencian, dan permusuhan. Banyak orang tidak mau membuka hati mereka bagi-Nya, seperti Herodes yang justru melakukan pembunuhan terhadap bayi-bayi di Betlehem karena merasa terancam oleh kelahiran Yesus (Mat. 2:16-18).
Dengan begitu, apa yang terjadi pada Stefanus kiranya bukan sesuatu yang terlalu mengejutkan (lih. bacaan pertama hari ini, Kis. 6:8-10, 7:54-59). Itulah risiko membuka diri bagi Tuhan dan beriman kepada-Nya. Bagi Yesus sendiri, kelahiran di dunia dan menanggung salib hingga wafat adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sebagai murid-murid-Nya, kita diminta menyadari hal itu, sambil mengingat bahwa kelahiran dan kematian adalah nasib yang tak terelakkan bagi semua orang yang menjalani kehidupan di dunia ini.
Hal itu disampaikan pula oleh Yesus dalam bacaan Injil hari ini yang berkisah tentang peringatan terhadap kedua belas rasul yang diutus-Nya. Mereka diutus seperti domba ke tengah serigala. Ini berarti, mewartakan Injil akan membuat hidup mereka dikelilingi oleh bahaya dan penderitaan. Penderitaan yang dimaksud Yesus ada dua, yakni penganiayaan oleh pihak lain dan perpecahan dalam keluarga mereka sendiri.
Namun, jangan khawatir menghadapi itu semua. Di mana ada penderitaan, di situ ada pertolongan. Kepada para utusan, Yesus menjanjikan bantuan Roh Kudus yang akan menginspirasi mereka saat membela diri menghadapi macam-macam fitnah dan tuduhan. Yesus sendiri pada saatnya akan datang kembali dalam kemuliaan dan mengakhiri penderitaan mereka. Karena itu, dalam situasi sesulit apa pun, para murid diharapkan bertahan dan bersabar.
Dahulu kala, mungkin juga sampai sekarang, penderitaan, kesulitan hidup, musibah, dan segala sesuatu yang tidak menyenangkan dianggap sebagai hukuman Tuhan. Orang berlomba-lomba menghindarinya. Mereka lebih mengejar kesuksesan, kekayaan, dan kehidupan yang nyaman, sebab banyak yang menilai inilah tanda-tanda orang yang diberkati Tuhan. Namun, bersedia mewartakan Injil berarti bersedia menerima tantangan, bersedia pula menanggung penderitaan. Peristiwa salib memberi kita kesadaran baru bahwa penderitaan bukanlah hukuman Tuhan, melainkan justru anugerah yang berfungsi untuk memurnikan diri kita. Kita mesti “dibakar” dalam duka derita kehidupan ini agar lahir kembali menjadi pribadi baru yang lebih baik dari sebelumnya.