Matius 17:1-9
Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes saudaranya, dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendiri saja. Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka; wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang. Maka nampak kepada mereka Musa dan Elia sedang berbicara dengan Dia. Kata Petrus kepada Yesus: “Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” Dan tiba-tiba sedang ia berkata-kata turunlah awan yang terang menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara yang berkata: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.” Mendengar itu tersungkurlah murid-murid-Nya dan mereka sangat ketakutan. Lalu Yesus datang kepada mereka dan menyentuh mereka sambil berkata: “Berdirilah, jangan takut!” Dan ketika mereka mengangkat kepala, mereka tidak melihat seorang pun kecuali Yesus seorang diri.
Pada waktu mereka turun dari gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka: “Jangan kamu ceriterakan penglihatan itu kepada seorang pun sebelum Anak Manusia dibangkitkan dari antara orang mati.”
***
Melalui kisah transfigurasi, penginjil Matius menegaskan kepada kita sekalian bahwa Yesus adalah Mesias seperti yang direncanakan oleh Allah, bukan Mesias seperti yang selama ini dibayangkan oleh manusia. Tradisi Israel yang diwakili oleh sikap Petrus mengharapkan datangnya Mesias yang jaya, yang tidak mengenal kegagalan dan penderitaan. Petrus ingin agar Yesus menjadi Mesias yang seperti itu. Sudah saatnya Petrus dan murid-murid yang lain mendengarkan kehendak Allah, bukannya menuruti gagasan mereka sendiri.
Jalan yang dipilih Allah bukanlah jalan yang instan. Bukan karena mentang-mentang mahakuasa, Allah datang ke dunia, lalu dengan satu kata membereskan semuanya. Kita sendiri pasti menyadari bahwa hidup di dunia ini bukan hal yang sederhana. Setiap hari dan setiap waktu, hidup kita diwarnai dengan derita, kesulitan, dan tantangan. Allah mengerti itu dan ingin menunjukkan solidaritas-Nya demi mendukung perjuangan kita. Karena itu, dipilih-Nya jalan penderitaan.
Pilihan Allah terkesan absurd, tetapi jika direnungkan dalam-dalam sungguh menguntungkan kita. Dahulu penderitaan dianggap sebagai aib, menunjukkan bahwa kita ini orang yang dihukum Allah. Celaka benar orang yang hidupnya susah, padahal dia itu sebenarnya hidupnya dengan jujur dan tidak melakukan kejahatan apa pun. Namun, kalau Mesias yang diutus Allah ternyata juga mengalami penderitaan, siapa yang berani mengatakan bahwa penderitaan itu aib yang harus dijauhi? Dengan itu, penderitaan setidaknya akan mulai dipandang dari sudut yang lain, yang lebih positif.
Petrus diminta untuk mulai mendengarkan Yesus, demikian juga kita. Ketika kita merasa bahwa banyak kesulitan mendera hidup kita, bisa jadi kita terdorong untuk berputus asa, terus berkeluh kesah, menyalahkan Tuhan, dan berdoa, “Tuhan segeralah membuat mukjizat untuk membebaskan aku!” Bagi kita yang bersikap seperti itu, Tuhan bersabda, “Dengarkanlah Dia.” Kita diminta mendengarkan Yesus, juga melihat teladan-Nya ketika menghadapi saat-saat yang berat. Ia tidak menolak penderitaan, tetapi menghadapinya dengan tegar.