Markus 3:20-21
Kemudian Yesus masuk ke sebuah rumah. Maka datanglah orang banyak berkerumun pula, sehingga makan pun mereka tidak dapat. Waktu kaum keluarga-Nya mendengar hal itu, mereka datang hendak mengambil Dia, sebab kata mereka Ia tidak waras lagi.
***
Meskipun sangat pendek, bacaan Injil hari ini menyiratkan kedegilan hati yang sangat keras. Dikisahkan bahwa Yesus masuk ke sebuah rumah di wilayah Galilea. Di sana, ada banyak orang yang mengerumuni-Nya dengan penuh semangat. Mereka ingin melihat dan merasakan karya penyembuhan-Nya yang luar biasa. Tentu saja orang-orang itu sudah mendengar banyak kesaksian tentang pekerjaan-pekerjaan baik yang dilakukan Yesus. Mereka pun sudah lama sekali mencari-cari Dia dan ingin berjumpa dengan-Nya.
Akan tetapi, hal itu rupanya tidak bisa diterima oleh kaum keluarga Yesus sendiri. Mereka merasa kesal melihat Yesus mengabaikan diri-Nya sendiri demi membantu orang-orang yang berkerumun di sekeliling-Nya. Mungkin juga mereka kurang meyakini kekuatan mukjizat Yesus. Karena itu, mereka berupaya untuk mengambil Yesus dengan alasan “Ia tidak waras lagi”.
Namun, Yesus tahu betul apa yang dilakukan-Nya dan mengapa Dia melakukan hal itu. Ia seimbang dalam perkataan dan perbuatan. Ia tidak pernah menggerutu, tetapi tetap fokus untuk melakukan kehendak Bapa bagi umat manusia. Sampai akhir hidup-Nya di dunia, Yesus terus mengajarkan dan melakukan kebaikan. Komitmen total kepada kehendak Allah Bapalah yang mendorong Yesus untuk sepenuhnya fokus melayani orang lain dan rela berkorban bagi mereka. Apakah itu semua layak disebut sebagai ketidakwarasan? Saya teringat pada sebuah pernyataan bahwa jalan Tuhan tidak seperti jalan manusia. Kebodohan Allah adalah hikmat yang melampaui hikmat dunia!
Menjadi murid Yesus di tengah dunia yang penuh dengan keegoisan dan sikap acuh tak acuh berarti harus siap untuk menerima sebutan “orang gila demi Kristus dan Injil”. St. Agnes yang kita peringati hari ini bahkan pernah dinilai “bodoh” karena menolak kesempatan untuk menjadi kaya dan berkuasa, dan justru memilih mati pada usia yang begitu muda karena “kegilaannya demi Kristus”. Terlepas dari apa yang orang lain lihat dan katakan tentang kita, marilah kita tetap menapaki panggilan hidup seperti Kristus, yakni melayani sesama tanpa pamrih dan tanpa tebang pilih.