Markus 3:1-6
Kemudian Yesus masuk lagi ke rumah ibadat. Di situ ada seorang yang mati sebelah tangannya. Mereka mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang itu pada hari Sabat, supaya mereka dapat mempersalahkan Dia. Kata Yesus kepada orang yang mati sebelah tangannya itu: “Mari, berdirilah di tengah!” Kemudian kata-Nya kepada mereka: “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?” Tetapi mereka itu diam saja. Ia berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan marah Ia memandang sekeliling-Nya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang itu: “Ulurkanlah tanganmu!” Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu. Lalu keluarlah orang-orang Farisi dan segera bersekongkol dengan orang-orang Herodian untuk membunuh Dia.
***
Seperti kebanyakan orang Yahudi pada zamannya, Yesus juga pergi ke sinagoga pada hari Sabat untuk berdoa dan mendengarkan firman Allah. Dikisahkan, pada suatu hari Sabat, ketika berada di sinagoga, Yesus berjumpa dengan seseorang yang salah satu tangannya lumpuh. Namun, di sana juga ada orang-orang Farisi yang melihat-lihat apa yang akan Yesus lakukan terhadap orang itu. Mereka sedang bersiap-siap menjerat Yesus yang mungkin akan melakukan mukjizat penyembuhan pada hari Sabat.
Memang konsep kaum Farisi tentang agama dan hukum agama sangat kaku, bertentangan dengan yang diyakini oleh Yesus. Bagi mereka, segala tindakan yang melanggar hukum Sabat adalah dosa besar. Berbeda dengan itu, Yesus berpandangan bahwa konsep keagamaan yang baik adalah kesetiaan iman kepada Allah dalam kata dan perbuatan, yang terwujud dalam pelayanan kasih kepada sesama manusia.
Orang-orang Farisi itu tidak mampu melihat kebenaran bahwa apa yang benar-benar bermanfaat bagi sesama manusia akan menyenangkan pula hati Tuhan. Mereka tidak melihat hubungan erat antara perintah untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia. Melihat hal itu, Yesus merasa sedih. Kedegilan hati mereka mengisyaratkan pemberontakan terhadap kehendak Tuhan dan keengganan untuk mendengarkan suara-Nya. Orang-orang Farisi itu mengeraskan hati dan menutup pikiran mereka terhadap belas kasihan Tuhan.
Keberanian dan belas kasihan Yesus mesti menjadi bahan refleksi bagi kehidupan kristiani kita di tengah dunia, di mana kecemburuan dan sikap acuh tak acuh sering kali bersuara lebih keras daripada sikap solider dan saling mengasihi. Tak dapat dipungkiri bahwa kadang-kadang ada orang yang menafsirkan kebaikan sesamanya sebagai kejahatan, dan dengan itu berusaha menciptakan gagasan manipulatif yang menghancurkan hidup orang lain. Tanggapan iman yang otentik atas kasih ilahi bagi umat manusia mestinya tidak semata-mata terwujud dalam kegiatan-kegiatan ritual, tetapi juga dalam kesungguhan untuk mendengarkan sabda Tuhan dan ketekunan untuk menghayatinya lewat perbuatan kasih tanpa pamrih.