Lukas 23:35-43
Orang banyak berdiri di situ dan melihat semuanya. Pemimpin-pemimpin mengejek Dia, katanya: “Orang lain Ia selamatkan, biarlah sekarang Ia menyelamatkan diri-Nya sendiri, jika Ia adalah Mesias, orang yang dipilih Allah.” Juga prajurit-prajurit mengolok-olokkan Dia; mereka mengunjukkan anggur asam kepada-Nya dan berkata: “Jika Engkau adalah raja orang Yahudi, selamatkanlah diri-Mu!” Ada juga tulisan di atas kepala-Nya: “Inilah raja orang Yahudi”.
Seorang dari penjahat yang di gantung itu menghujat Dia, katanya: “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!” Tetapi yang seorang menegur dia, katanya: “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.” Lalu ia berkata: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” Kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”
***
Dalam buku tentang kecerdasan emosi, Daniel Goleman membahas tentang peristiwa pembajakan amigdala, salah satu bagian dari otak emosi pada manusia. Pembajakan amigdala terjadi ketika kita langsung menunjukkan respons emosi terhadap suatu peristiwa atau stimulus yang ditangkap oleh pancaindra. Fenomena ini sering terjadi pada manusia.
Orang sering tidak mampu menahan kemarahan, sehingga melakukan serangan berupa kata-kata kasar atau kekerasan fisik. Tanpa dapat mengontrol emosi negatifnya, tidak jarang orang tua cepat sekali memarahi atau memukul anak. Sering kali kemarahan yang tidak terkontrol itu berdampak sangat buruk bagi korban, misalnya sampai mengalami cedera fisik. Tindakan demikian adalah tanda ketidakmatangan emosi. Orang yang mampu mengendalikan emosi adalah mereka yang tidak langsung mengekspresikannya, tetapi mampu berpikir bijak sebelum bertindak.
Hari ini kita merayakan Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Sang Raja Semesta Alam dalam bacaan Injil menunjukkan kualitas kematangan emosi yang luar biasa. Para pemimpin Yahudi mengejek dengan kalimat-kalimat yang merendahkan, tetapi Dia tetap tenang, diam, dan tidak reaktif. Seorang penjahat yang disalibkan bersama-Nya turut mengolok-olok Dia, tetapi sang Raja tetap bersikap tenang. Ia tidak tergoda mengekspresikan emosi negatif dan menunjukkan kekuasaan-Nya sebagai Anak Allah.
Yesus bahkan menunjukkan ekspresi emosi positif kepada penjahat lain yang menunjukkan rasa hormat kepada-Nya. Dia memberikan peneguhan, “Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” Kemampuan menguasai diri yang ditunjukkan oleh orang itu telah membuat dirinya memiliki kesempatan merasakan kedamaian seperti yang dialami Yesus. Yesus menunjukkan diri sebagai Raja atas diri-Nya sendiri, atas emosi dan perilaku-Nya sendiri. Kualitas ini diperoleh dari relasi yang akrab dengan Bapa-Nya.
Yesus telah memberi teladan kepada kita bagaimana menjadi raja yang sejati, yaitu dengan mampu memimpin atau meraja atas diri sendiri. Terkadang kita sulit mengontrol reaksi emosi negatif kita ketika berhadapan dengan situasi atau orang lain. Emosi yang tidak terkendali itu sering merusak relasi kita dengan sesama, merusak orang lain, dan terutama merusak diri kita sendiri. Belajar dari Yesus, marilah kita berjuang untuk menjadi raja atas diri kita sendiri, dengan mampu mengontrol reaksi emosi kita, agar terungkap dengan cara yang tepat, sehingga tidak menyakiti sesama dan merusak diri sendiri. Tidak ada “sekolah emosi”, tetapi Yesus menunjukkan satu jalan untuk menuju kematangan emosi, yaitu dengan mencintai keheningan doa yang mempererat relasi kita dengan Tuhan.