Lukas 9:18-22
Pada suatu kali ketika Yesus berdoa seorang diri, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Lalu Ia bertanya kepada mereka: “Kata orang banyak, siapakah Aku ini?” Jawab mereka: “Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, ada pula yang mengatakan, bahwa seorang dari nabi-nabi dahulu telah bangkit.” Yesus bertanya kepada mereka: “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Jawab Petrus: “Mesias dari Allah.” Lalu Yesus melarang mereka dengan keras, supaya mereka jangan memberitahukan hal itu kepada siapa pun.
Dan Yesus berkata: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.”
***
Santo Padre Pio dari Pietrelcina menerima stigmata atau luka-luka Yesus pada tanggal 20 September 1918. Awalnya, ia malu dan bingung menjelaskan hal itu kepada orang lain. Ia juga merasakan sakit yang hebat dari luka-luka tersebut. Ia pernah berdoa agar Tuhan menarik kembali karunia itu, namun akhirnya ia menerimanya dengan penuh iman. Banyak orang yang percaya, namun banyak juga yang meragukannya. Padre Pio juga harus berhadapan dengan penyelidikan Gereja dan pihak medis. Ia pernah dilarang untuk memimpin misa untuk publik. Semuanya itu ia hadapi dengan sikap hening dan doa. Padre Pio meninggal di usia 81 tahun. Saat itu, luka-lukanya mengeluarkan bau harum yang memenuhi seluruh ruangan.
Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus menubuatkan penderitaan-Nya. Dikatakan bahwa Ia akan menderita, ditolak, dan dibunuh, namun bangkit pada hari ketiga. Derita dan kematian Yesus ini adalah bagian integral dari rencana keselamatan Bapa. Hal ini berarti derita dan kematian menjadi jalan yang mesti dilalui-Nya. Yesus sungguh memahami hal itu karena Ia mengenal Bapa. Namun, bagaimana dengan para murid? Apakah mereka mengenal Yesus? Yesus mulai bertanya apa kesan orang tentang diri-Nya, lalu Ia meminta jawaban dari para rasul sendiri. Petrus menyatakan bahwa Ia adalah Kristus yang diutus Bapa. Dari situlah, Yesus kemudian menubuatkan penderitaan-Nya.
Kita selalu menghadapi tantangan ketika menyuarakan kebenaran. Ada orang yang menolak kita, bahkan ada juga yang mengancam kita. Kenyataan ini menyadarkan kita bahwa derita adalah bagian integral dari suara kebenaran. Dalam konteks ini, derita menjadi suatu rahmat. Rahmat itu membebaskan kita dari kejahatan, juga memerdekakan dan meneguhkan kita. Namun, dalam kenyataan, kita sering merasa takut dan menolak untuk menanggung derita. Nasihat Padre Pio ini semoga bisa menolong kita, “Kita harus memiliki keberanian, dan jika suatu kelemahan menimpa kita, marilah kita berlari ke kaki Yesus dalam Sakramen Mahakudus. Di situ, kita pasti akan mendapatkan kembali kekuatan kita.” Santo Padre Pio, doakanlah kami!