Menerobos Sekat Sosial

Rabu, 21 September 2022 – Pesta Santo Matius

143

Matius 9:9-13

Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya: “Ikutlah Aku.” Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia. Kemudian ketika Yesus makan di rumah Matius, datanglah banyak pemungut cukai dan orang berdosa dan makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya. Pada waktu orang Farisi melihat hal itu, berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus: “Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” Yesus mendengarnya dan berkata: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”

***

Sebelum menjadi rasul, Matius adalah seorang pemungut cukai. Secara material, ia kaya, namun secara sosial, ia miskin. Dalam lingkungan Yahudi pada zaman Yesus, pemungut cukai termasuk sampah masyarakat. Mereka dipandang sebagai sahabat penjajah karena memungut pajak dari masyarakat. Tidak jarang mereka memungut lebih dari yang ditentukan. Secara religius, mereka dicap sebagai pendosa karena memeras orang lain. Hal inilah yang membuat orang Farisi mempersoalkan Yesus karena makan bersama orang berdosa dan pemungut cukai.

Yesus memiliki pandangan yang berbeda dengan orang-orang semasa-Nya. Ia bersabda, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit.” Bagi Yesus, orang-orang seperti Matius perlu untuk “disembuhkan”, alih-alih dibuang dari tengah masyarakat. Oleh karena itu, Yesus memiliki pendekatan yang berbeda dengan para pemuka Yahudi. Ia mendekati para pemungut cukai dan orang berdosa. Yesus menyatakan bahwa tindakan-Nya ini sejalan dengan kehendak Allah Bapa untuk berbelaskasihan. Tindakan Yesus ini tentunya berisiko. Ia akan dipandang juga sebagai sahabat penjajah dan pendosa. Namun, Yesus menerima risiko itu demi tujuan-Nya. Hasilnya sungguh luar biasa. Matius bersedia bertobat dan menjadi murid-Nya.

Saudara-saudari terkasih, ada banyak “cap sosial” dan stereotipe terhadap orang, kelompok, atau suku tertentu di tengah masyarakat kita. Asumsi-asumsi buruk itu menciptakan sekat-sekat sosial dan sering memicu konflik. Yesus mengajarkan kepada kita bahwa setiap orang harus dihargai karena kita semua sama-sama manusia. Kita memiliki harkat dan martabat yang sama. Karena itu, pertama-tama, kita perlu menghapus segala macam “cap sosial” dan stereotipe dari pikiran kita. Kita juga perlu menerobos sekat-sekat sosial yang diskriminatif. Kita mesti berhenti memperlakukan orang lain sebagai penjahat, dan berlatih menjadi sahabat, teristimewa terhadap mereka yang kecil dan tersingkir. Santo Matius, doakanlah kami!