Matius 22:15-21
Kemudian pergilah orang-orang Farisi; mereka berunding bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan. Mereka menyuruh murid-murid mereka bersama-sama orang-orang Herodian bertanya kepada-Nya: “Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka. Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: “Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu.” Mereka membawa suatu dinar kepada-Nya. Maka Ia bertanya kepada mereka: “Gambar dan tulisan siapakah ini?” Jawab mereka: “Gambar dan tulisan Kaisar.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.”
***
Bacaan Injil hari ini selalu membuat saya tersenyum karena mengingatkan saya pada berita-berita di televisi ketika seseorang yang sedang diwawancarai didesak oleh wartawan untuk memberikan jawaban “ya” atau “tidak”. Orang Farisi ternyata sudah melakukan hal itu dua ribu tahun yang lalu pada zaman Yesus.
Apakah orang harus membayar pajak kepada kaisar atau tidak? Jika Yesus menjawab “ya”, itu berarti Dia mengakui pendudukan Romawi. Sebaliknya, jika Yesus mengatakan “tidak”, itu berarti Dia menghina kaisar. Namun, dalam kebijaksanaan-Nya, Yesus memberikan respons dari perspektif yang sama sekali berbeda. Pada dasarnya Yesus mempertanyakan, “Kamu milik siapa?” Hukum dan adat istiadat negara tempat kita tinggal memang harus dihormati. Namun, jika kita melihat diri kita sebagai anak-anak Tuhan, kita terlebih dahulu adalah milik Tuhan sendiri.
Kita sering mendengar tentang pentingnya melindungi warga negara dan memperbaiki ekonomi bangsa, dan tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, perspektif Kristen menjangkau lebih jauh lagi, sehingga kita berbicara tentang pentingnya melindungi kehidupan manusia secara keseluruhan. Demikianlah, iman itu melampaui batas, sehingga kita tidak boleh membeda-bedakan orang.
Hukum Tuhan tidak berubah. Panggilan Yesus sama bagi kita, tidak peduli dari mana kita berasal dan bagaimana kita melihat dunia ini. Politik berubah-ubah, pemerintahan pun datang dan pergi, tetapi kehadiran Yesus sama di mana-mana dan jauh lebih besar dari apa pun yang pernah kita temui di dunia ini.
Ketika sesuatu yang menakutkan terjadi, kita tiba-tiba mulai berpikir tentang apa yang benar-benar penting dalam kehidupan ini. Kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang siftanya mendasar, seperti: Kita ini milik siapa? Untuk apa kita hidup? Apakah hidup hanya tentang memperoleh sebanyak mungkin kenyamanan dan materi? Merdeka bukan berarti bebas meraih apa saja yang kita maui secara fisik dan duniawi. Lebih baik dari itu, merdeka berarti sikap batin yang bahagia, penuh syukur dan kasih. Keteguhan hati yang demikian inilah yang akan menular secara positif kepada orang lain dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat kita.
“Yesus, kami percaya kepadamu.”