Lukas 10:1-9
Kemudian dari itu Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya. Kata-Nya kepada mereka: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu. Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. Janganlah membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut, dan janganlah memberi salam kepada siapa pun selama dalam perjalanan. Kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini. Dan jikalau di situ ada orang yang layak menerima damai sejahtera, maka salammu itu akan tinggal atasnya. Tetapi jika tidak, salammu itu kembali kepadamu. Tinggallah dalam rumah itu, makan dan minumlah apa yang diberikan orang kepadamu, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya. Janganlah berpindah-pindah rumah. Dan jikalau kamu masuk ke dalam sebuah kota dan kamu diterima di situ, makanlah apa yang dihidangkan kepadamu, dan sembuhkanlah orang-orang sakit yang ada di situ dan katakanlah kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat padamu.”
***
Bacaan Injil yang kita dengarkan hari ini kerap kali dikutip dalam aksi panggilan. Orang-orang muda diajak untuk menjadi “pekerja-pekerja untuk tuaian”, yang selalu dikaitkan dengan imam, biarawan, dan biarawati. Karena itu, kata-kata Yesus,“Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit,” sering hanya dipahami sebagai ajakan untuk menjadi imam dan kaum religius. Apakah benar demikian?
Dalam perikop ini, Yesus mengutus tujuh puluh orang murid-Nya. Ini berbeda dengan perikop lainnya, misalnya Luk. 9:1-6, di mana Yesus dikisahkan mengutus dua belas murid pilihan-Nya, yakni para rasul. Besarnya jumlah murid yang diutus, yakni tujuh puluh orang, menandakan bahwa pengutusan ini diperuntukkan bagi semua pengikut Yesus. Setiap orang yang mengikuti Dia adalah “pekerja untuk tuaian”.
Gereja menegaskan bahwa tugas pengutusan dari Yesus diberikan kepada semua orang Katolik. Dikatakan bahwa Gereja pada dasarnya adalah misionaris (bdk. Ad Gentes 2). Hal ini berarti kita tidak bisa disebut sebagai anggota Gereja jika kita bukan seorang misionaris. Semua orang tanpa terkecuali, baik imam, kaum religius, maupun umat awam, adalah “pekerja untuk tuaian”.
Peran sebagai misionaris menyatu dengan status sebagai murid Yesus. Kita tidak bisa menjadi murid Kristus tanpa menjadi juga seorang misionaris. Santa Teresa dari Avila mengingatkan hal ini dalam tulisannya. Ia menuliskan: “Yesus Kristus tidak lagi memiliki tubuh di dunia ini, tetapi kita adalah tubuh-Nya; tidak ada tangan, dan kitalah tangan-Nya; tidak ada lagi kaki, kita adalah kaki-Nya. Kita adalah mata Kristus yang memandang dunia ini dengan penuh belas kasihan. Kita adalah kaki Kristus yang berkeliling untuk berbuat baik. Kita adalah tangan Kristus yang menjadi sarana bagi Dia untuk memberkati banyak orang.”
Salah satu misi yang dimandatkan oleh Yesus bagi semua pengikut-Nya adalah mewartakan dan menghidupi damai yang dimulai dari rumah tangga. Inilah tugas keluarga-keluarga Katolik. Ketika damai sejahtera tumbuh dan berkembang dalam keluarga, masyarakat dan dunia akan damai juga. Paus Fransiskus menegaskan bagaimana mewujudkan damai dalam tataran praktis. Kedamaian akan terwujud di dalam komunitas, keluarga, atau masyarakat bila tidak ada gosip, kecemburuan, fitnah, dan penistaan.
Di tengah-tengah masyarakat yang rawan terpecah belah karena hoaks, karena perbedaan suku dan agama, kita dipanggil menjadi misionaris yang membawa damai sejahtera.