Allah Tritunggal: Allah dalam Pengertian dan Pengalaman

Minggu, 12 Juni 2022 – Hari Raya Tritunggal Mahakudus

1132

Yohanes 16:12-15

“Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterima-Nya dari-Ku. Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterima-Nya dari-Ku.”

***

Kita hidup di Indonesia dalam sebuah mainstream yang pekat tentang paham Allah yang Esa. Pancasila pun merumuskan secara demikian, juga oleh umat mayoritas negeri ini. Kita kurang menyadari bahwa pengertian paham monoteisme yang mengimani Allah yang Esa meninggalkan problem dalam pengalaman hidup beriman. Dimensi pengertian memiliki problem dalam dimensi pengalaman. Monoteisme tidak pernah sampai masuk pada dimensi-dimensi rumit dalam pengalaman hidup. Salah satu pertanyaan yang mengganggu adalah: Di manakah Tuhan dalam penderitaan manusia, padahal Allah dirumuskan sebagai Dia yang Mahakasih? Oleh karena itu, monoteisme adalah rumusan iman menurut kaidah nalar, tetapi mengabaikan pengalaman.

Nalar yang dalam sejarah perkembangan perumusannya dihasilkan ketika kebudayaan manusia baru mengenal angka 1 sebagai bilangan yang menggambarkan kesempurnaan tidak perlu ditambahkan. Namun, dengan demikian, pengenalan akan Allah terjebak dalam logika matematis, padahal di dunia timur, tepatnya di India, dikenal bilangan 0. Menjadi pertanyaan, kesempurnaan ada pada angka 1 atau 0?

Dalam kronologi teologi tersebut, saya bersyukur kepada para Bapa Gereja, yang setelah melalui pergumulan panjang, mencoba merumuskan iman akan Allah sebagai Allah Tritunggal Mahakudus. Ini merupakan rumusan Konsili Kalsedon yang membawa sebuah cara beriman yang tidak kaku. Allah Tritunggal adalah perumusan secara nalar mengenai pengalaman perjumpaan akan Allah. Kekatolikan menempuh jalan lain dalam membangun teologi monoteis, tidak terjebak dalam pertanyaan “berapa Allah”, yang bisa menjerumuskan pemahaman ke dalam ranah matematis yang berbatas, entah bilangan 1 atau 0.

Ketika masih anak-anak, saya menyadari bahwa rumusan Katolik mengenai iman kepada Allah yang Esa sedikit berbeda dengan mainstream yang ada. Dalam ungkapan lain, sering kali dikatakan bahwa rumusan Allah Tritunggal merupakan rumusan monoteis yang rumit. Saya katakan rumit karena rumusan itu begitu sulit untuk bisa saya pahami sebagai seorang anak-anak. Namun, hal itu juga menyadarkan saya bahwa untuk memahaminya, saya mesti bersabar dan berjalan tertatih menempuh cara bernalar yang tidak biasa. Semua ini sungguh menantang iman dan menggugah nalar. Untuk sampai pada pemahaman akan Allah Tritunggal, orang ditantang menggunakan seluruh dimensi hidup manusia, yakni intuisi, nalar, dan imajinasi. Ia harus mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering kali rumit mengenai Tuhan.

Oleh karena itu, rumusan Allah Tritunggal bukanlah jawaban atas pertanyaan “siapakah Allah”, melainkan jawaban atas pertanyaan “siapakah manusia”. Manusia adalah makhluk yang lemah dan berdosa, tetapi dicintai Allah sepenuhnya. Trinitas bukanlah jawaban atas pertanyaan “berapa Allah”, tetapi jawaban atas pertanyaan “bagaimana Allah”. Trinitas adalah penegasan akan cinta Allah yang tidak pernah meninggalkan manusia dalam suka dukanya. Terlebih dalam duka, Allah menjadi sahabat manusia dalam diri Yesus yang disalib. Allah tidak pernah menghukum manusia dengan pencobaan dan penderitaan.

Demikianlah, dalam usaha untuk mengenal Allah, manusia selalu ada dalam ketegangan antara Dia yang kita mengerti dan Dia yang kita alami, antara Tuhan yang kita mengerti dengan nalar dan Tuhan yang kita kenali dengan hati, antara Tuhan yang personal dan Tuhan yang impersonal, serta antara Tuhan yang ditemui dalam diri sesama dan Tuhan yang dijumpai dalam keheningan samadi.

Seluruh isi Kitab Suci, seperti bacaan-bacaan pada hari Minggu ini, menceritakan tentang dinamika pengenalan manusia akan Tuhan. Deus Semper Maior: Tuhan lebih besar dari apa yang dapat aku gambarkan mengenai-Nya!