Matius 5:27-32
“Kamu telah mendengar firman: Jangan berzina. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzina dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, daripada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa daripada tubuhmu dengan utuh masuk neraka.
Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan istrinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zina, ia menjadikan istrinya berzina; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zina.”
***
Hari ini, Yesus bersabda, “Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, daripada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.”
Pastor John Kavanaugh SJ, seorang teolog moral, sering menulis kritik atas budaya konsumerisme. Dia menulis, “Sepanjang banyak diskusi saya dengan para orang tua dan anak-anak tentang persoalan tekanan dan perpecahan dalam keluarga, saya menemukan tidak ada kekuatan yang sedemikian menjamur secara masif, kuat, dan menggoda seperti konsumerisme. Inilah yang ditawarkan kapitalisme berikut daya tariknya berupa penumpukan kekayaan tanpa henti, penambahan jam kerja, upaya menuhankan mal, pencarian legitimasi melalui uang dan kekayaan, serta persaingan tiada akhir di setiap tingkat kehidupan.”
Penting untuk disadari bahwa dorongan untuk memperoleh keinginan tanpa henti, yang terangkum dalam ungkapan “tidak pernah cukup”, pada awalnya dimotivasi oleh sesuatu yang sehat, yakni hasrat kerinduan kita akan Allah. Kita semua punya kerinduan akan Allah. Namun, budaya konsumerisme berulang kali memberi tahu bahwa kita dapat memuaskan kerinduan tersebut melalui uang, status, dan kekayaan.
Dorongan tanpa henti, merasa tidak pernah cukup untuk bergerak menuju tangga sosial di atasnya, serta mempertahankan posisi sosial akan selalu menguras waktu dan energi kita. Jadi, mengapa kita tidak membersihkan diri dari setidaknya beberapa dorongan ini dan menjadi terbebas dari kungkungannya, agar kita mengenal dorongan yang sejati, yaitu kerinduan kita akan Allah?
Hidup sederhana bukanlah hukuman, melainkan sebuah gerak menuju kemerdekaan yang lebih besar!