Bersatu dengan Bapa di Surga

Selasa, 5 April 2022 – Hari Biasa Pekan V Prapaskah

406

Yohanes 8:21-30

Maka Yesus berkata pula kepada orang banyak: “Aku akan pergi dan kamu akan mencari Aku tetapi kamu akan mati dalam dosamu. Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang.” Maka kata orang-orang Yahudi itu: “Apakah Ia mau bunuh diri dan karena itu dikatakan-Nya: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang?” Lalu Ia berkata kepada mereka: “Kamu berasal dari bawah, Aku dari atas; kamu dari dunia ini, Aku bukan dari dunia ini. Karena itu tadi Aku berkata kepadamu, bahwa kamu akan mati dalam dosamu; sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa Akulah Dia, kamu akan mati dalam dosamu.” Maka kata mereka kepada-Nya: “Siapakah Engkau?” Jawab Yesus kepada mereka: “Apakah gunanya lagi Aku berbicara dengan kamu? Banyak yang harus Kukatakan dan Kuhakimi tentang kamu; akan tetapi Dia, yang mengutus Aku, adalah benar, dan apa yang Kudengar dari-Nya, itu yang Kukatakan kepada dunia.” Mereka tidak mengerti, bahwa Ia berbicara kepada mereka tentang Bapa. Maka kata Yesus: “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa Akulah Dia, dan bahwa Aku tidak berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri, tetapi Aku berbicara tentang hal-hal, sebagaimana diajarkan Bapa kepada-Ku. Dan Ia, yang telah mengutus Aku, Ia menyertai Aku. Ia tidak membiarkan Aku sendiri, sebab Aku senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada-Nya.”

Setelah Yesus mengatakan semuanya itu, banyak orang percaya kepada-Nya.

***

Dalam Injil Yohanes, Yesus lebih banyak berbicara tentang diri-Nya sendiri. Ia mewahyukan diri-Nya, membuka jati diri dan misi-Nya kepada dunia dan manusia. Dalam bacaan Injil hari ini pun Yesus menegaskan dan memperkenalkan diri-Nya dengan rumusan yang khas: “Akulah Dia.” Rumusan ini sejajar dengan rumusan dalam Perjanjian Lama saat Tuhan, Allah Israel memperkenalkan diri-Nya sebagai “Akulah yang Ada.”

Dengan demikian, Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai kehadiran Allah sendiri di tengah dunia dan manusia. Dialah wajah Allah yang menyapa manusia. Dialah terang Allah yang menuntun dan mengajar manusia tentang kehendak-Nya. Dengan itu, Dia menjadi jalan yang secara pasti mengantar manusia kepada Allah untuk menikmati hidup sejati dan abadi. Apa dasar pewahyuan jati diri Yesus yang amat mendalam ini? Yesus menegaskan bahwa jawabannya adalah persatuan-Nya dengan Bapa.

Pertama, persatuan dengan Bapa menegaskan asal-usul jati diri Yesus. Berbeda dengan manusia, nabi, atau para pengajar yang lain, Yesus menegaskan bahwa Ia berasal dari atas dan bukan dari dunia ini. Jati diri dan misi Yesus bukanlah produk teologi atau rumusan dan renungan manusia. Itulah yang selalu membuat Yesus susah dipahami oleh para pendengar-Nya, dahulu sampai sekarang. Kita salah memahami Yesus karena kita berkutat dalam pandangan kita sendiri, mengerdilkan Dia dalam keyakinan dan agama kita, memenjarakan Dia dalam rumusan dan ritual hampa yang berulang tanpa iman. Yesus menuntut relasi personal, hubungan yang mendalam antara pribadi seseorang dan diri-Nya. Agama dan ritual kita haruslah demi persatuan dan relasi pribadi dengan Yesus, bukan sekadar memenuhi kewajiban dan siklus tahunan belaka.

Kedua, persatuan dengan Bapa membenarkan misi dan pewartaan Yesus. Sebagai Anak Allah, Yesus mengatakan apa yang didengar-Nya dari Bapa. Bukankah Anak yang paling tahu rencana dan kehendak Bapa-Nya? Yesus tidak mewartakan kehendak dan pikiran-Nya sendiri, tetapi pikiran Bapa-Nya. Tindakan dan perbuatan Yesus, seluruh mukjizat dan karya-Nya di dunia ini pun sesuai dengan apa yang diajarkan Bapa kepada-Nya. Semuanya itu akan terbukti di salib. Wafat di kayu salib adalah tanda paling jelas bahwa sang Anak hanya hidup untuk mewartakan dan melaksanakan kehendak Bapa di surga. Dengan demikian, salib menjadi tanda ketaatan dan kemuliaan sang Anak, alih-alih tanda kekalahan dan kegagalan-Nya. Itulah yang nanti diproklamasikan oleh sang Anak sendiri: “Sudah selesai.”

Apa jawaban kita terhadap sang Anak yang memperkenalkan kehendak dan rencana Bapa itu? Hanya satu, yakni percaya. Jika tidak, menurut Yesus, “Kamu akan mati dalam dosamu.” Artinya, kalau tidak mengimani pewartaan sang Anak, kalau tidak berelasi dengan diri-Nya, kita semua tidak akan mengalami hidup sejati, yakni persatuan dengan Bapa di surga.