Tuhan Memandang Hati

Sabtu, 26 Maret 2022 – Hari Biasa Pekan III Prapaskah

117

Lukas 18:9-14

Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

***

Dua orang dikisahkan datang berdoa kepada Tuhan. Yang satu adalah orang Farisi, yang lain seorang pemungut cukai. Orang Farisi itu datang dengan kepercayaan diri yang tinggi. Dengan penuh semangat, ia menyampaikan segala kewajiban yang telah dilaksanakannya dengan amat baik. Ia menggangap dirinya sebagai orang yang paling benar dan saleh.

Namun, apa gunanya segala kesalehan itu dibawa ke hadirat Tuhan? Melaksanakan kewajiban agama adalah baik, namun jika kesalehan kemudian dijadikan ukuran untuk menghakimi orang lain, nilai dari ibadah itu akan hilang. Karena menganggap diri paling baik dan merendahkan orang lain, doa yang disampaikan orang Farisi itu kiranya tidak lahir dari hati yang terdalam.

Sikap yang berbeda ditampakkan oleh sang pemungut cukai. Dia datang ke hadirat Tuhan dengan penuh kesadaran bahwa dirinya adalah orang berdosa yang tidak layak menghadap-Nya. Tindakannya memukul diri menunjukkan kesungguhan hati. Kerendahan hati yang sempurna ia tunjukkan karena hanya satu yang ia harapkan, yakni belas kasihan Allah. Pemungut cukai ini menghayati doanya sebagai suatu bentuk pertobatan. Karena itulah Allah berkenan kepadanya.

Mari kita masuk ke dalam diri kita masing-masing. Dengan jujur di hadirat Tuhan, mari kita refleksikan hidup doa kita selama ini. Apakah kita seperti orang Farisi itu, yang cenderung merasa diri paling benar dan suci? Apakah kita juga suka menghakimi kesalahan orang lain tanpa melihat kekurangan dan kelemahan diri kita sendiri? Apakah selama ini keaktifan kita di Gereja dan pelayanan kita hanya untuk mendapat pujian dari orang lain?

Ketika kita merasa diri paling benar dan suci, rahmat Tuhan tidak akan bekerja dalam diri kita. Sebaliknya, jika kita selalu menyadari keterbatasan kita dengan tulus di hadirat Tuhan, Dia sendiri yang akan menopang kita agar terus mengalami kasih-Nya. Tuhan akan memberikan damai dan keselamatan bagi mereka yang mau bertobat, yang terbuka akan kebaikan-Nya, yang rendah hati dan jujur, serta yang selalu berharap akan pengampunan-Nya.

Marilah berdoa: “Tuhan Yesus, bentuklah hati kami agar selalu terbuka akan pengampunan-Mu. Kami percaya Engkau senantiasa hadir dalam diri orang-orang yang mau bertobat dengan sungguh-sungguh. Amin.”