Markus 8:22-26
Kemudian tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Betsaida. Di situ orang membawa kepada Yesus seorang buta dan mereka memohon kepada-Nya, supaya Ia menjamah dia. Yesus memegang tangan orang buta itu dan membawa dia ke luar kampung. Lalu Ia meludahi mata orang itu dan meletakkan tangan-Nya atasnya, dan bertanya: “Sudahkah kaulihat sesuatu?” Orang itu memandang ke depan, lalu berkata: “Aku melihat orang, sebab melihat mereka berjalan-jalan, tetapi tampaknya seperti pohon-pohon.” Yesus meletakkan lagi tangan-Nya pada mata orang itu, maka orang itu sungguh-sungguh melihat dan telah sembuh, sehingga ia dapat melihat segala sesuatu dengan jelas. Sesudah itu Yesus menyuruh dia pulang ke rumahnya dan berkata: “Jangan masuk ke kampung!”
***
Satu keuntungan yang didapatkan orang buta dalam kisah penyembuhan hari ini adalah disentuh oleh Yesus. Dua kali dia disentuh Yesus, sehingga bisa sembuh dari sakitnya. Sentuhan Yesus membawa perubahan pada hidupnya. Dia melihat cahaya, bisa membedakan antara gelap dan terang. Mukjizat yang diterimanya membawa dampak positif karena dia lalu bisa menikmati hidup sebagaimana mestinya.
Sentuhan Yesus merupakan tanda bahwa Allah mengasihi umat-Nya. Allah memperhatikan penderitaan manusia dan bersedia menyembuhkan, sebab Ia ingin agar keselamatan dialami oleh setiap orang. Jika orang buta itu butuh disentuh oleh Yesus agar mengalami kesembuhan, bagaimana dengan kita? Apakah selama ini kita juga pernah merasakan disentuh oleh Tuhan, sehingga mengalami perubahan hidup?
Sabda Allah merupakan sentuhan paling utama bagi kita. Banyak orang yang mengalami perubahan ketika menemukan ayat Kitab Suci sebagai pedoman hidup mereka. Banyak orang yang mensyukuri hidup melalui kutipan-kutipan Kitab Suci. Itulah sentuhan rohani yang selama ini bisa kita rasakan. Suara Allah yang bergema dalam sanubari kita, itulah bentuk sentuhan rohani yang ditawarkan bagi kita.
Memang pertumbuhan iman harus diimbangi dengan cita rasa rohani. Orang mengalami disentuh oleh Allah karena hidup rohaninya diolah dengan baik. Ada yang betah di ruang adorasi untuk berdoa dengan khusyuk; ada yang kerasan bermeditasi selama berjam-jam. Itu semua merupakan contoh bagaimana iman dihidupi dengan cita rasa rohani. Namun, ada pula yang selalu buru-buru ketika berdoa; atau memilih jadwal misa dengan mempertimbangkan durasi khotbah seorang imam. Jika hidup kita masih dikuasai oleh sikap like and dislike, tidak akan pernah muncul yang namanya cita rasa rohani dalam pertumbuhan iman.
Tantangan yang harus kita taklukkan adalah bagaimana harus beriman dengan mengalami sentuhan-sentuhan Allah. Iman itu personal, maka kehadiran Allah juga terjadi dalam hati kita masing-masing. Allah yang menyapa dan menunjukkan jalan kebenaran akan bisa kita sadari ketika kita mengaktifkan cita rasa iman kepada-Nya. Mari kita matangkan iman yang sudah dimiliki dengan karunia cita rasa rohani, sehingga semakin teranglah karya Allah yang senantiasa memperbarui hidup kita masing-masing.