Yesaya 6:1-2a, 3-8
Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci. Para Serafim berdiri di sebelah atas-Nya, masing-masing mempunyai enam sayap.
Dan mereka berseru seorang kepada seorang, katanya: “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” Maka bergoyanglah alas ambang pintu disebabkan suara orang yang berseru itu dan rumah itu pun penuhlah dengan asap. Lalu kataku: “Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam.” Tetapi seorang dari Serafim itu terbang mendapatkan aku; di tangannya ada bara, yang diambilnya dengan sepit dari atas mezbah. Ia menyentuhkannya kepada mulutku serta berkata: “Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni.” Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Maka sahutku: “Ini aku, utuslah aku!”
***
Seorang anak disuruh orang tuanya untuk menjaga padi di sawah dari serangan burung-burung. Saat anak itu mengusir burung-burung yang datang mengganggu, tiba-tiba datang seekor sapi yang lepas dari ikatannya dan memakan rumpun padi di sawah tersebut. Namun, ia hanya membiarkannya saja. Datanglah seseorang yang kemudian mengusir sapi itu dan menegur dia, “Mengapa kamu membiarkan sapi itu memakan padimu? Bukankah orang tuamu menyuruhmu menjaga padi kalian?” Si anak menjawab, “Tugas saya adalah mengusir burung-burung, bukan sapi.”
Perbuatan si anak dalam cerita di atas menggambarkan sikap kita. Sering kita enggan berbuat sesuatu karena kita berpikir bahwa itu bukan tugas kita. Demikian juga dengan kebanyakan orang Katolik ketika berbicara tentang pengutusan. Umat kebanyakan berpandangan bahwa “orang yang diutus” adalah mereka yang menjalani hidup khusus sebagai imam atau biarawan-biarawati, padahal pengutusan sesungguhnya bersifat umum. Semua orang Katolik diutus untuk menjadi saksi tentang keutamaan-keutamaan Kerajaan Allah. Konsili Vatikan II bahkan menegaskan pengutusan bagi orang-orang awam dalam hidup sosial kemasyarakatan yang tidak mungkin dimasuki oleh imam dan biarawan-biarawati. Karena itu, setiap orang dituntut untuk siap menjalankan tugas pengutusan dari Allah.
Yesaya dalam bacaan pertama hari ini memberikan contoh bagi kita semua untuk selalu siap diutus. Pada waktu itu, masyarakat dan negara sedang dalam situasi sulit. Bangsa Israel sedang berada dalam ancaman musuh-musuhnya. Musuh-musuh tersebut tidak hanya mengancam kedaulatan negara, tetapi juga kehidupan sosial dan religius masyarakat. Di tengah situasi demikian, Yesaya menyadari panggilan Allah.
Yesaya menyadari akan keterbatasan dan ketidakpantasannya untuk menjadi seorang nabi. Namun, hal itu tidak membuat dirinya mundur atau mengatakan, “Ini bukan tugasku.” Yesaya memiliki iman dan keyakinan akan penyelenggaraan Allah. Ia percaya bahwa Allah sendirilah yang akan membuat dirinya layak. Allah akan membimbing dan memampukannya untuk melaksanakan tugas pengutusan itu. Karenanya Yesaya berkata, “Ini aku, utuslah aku.”
Beranikah kita berkata seperti Yesaya, “Ini aku, utuslah aku”? Di tengah masyarakat yang mudah terpecah oleh rasisme dan intoleransi, beranikah kita menjadi utusan yang membawa semangat persatuan dan saling menghargai satu sama lain? Apakah kita siap menjadi utusan yang memberikan kesaksian akan kejujuran di tengah-tengah lingkungan kerja kita?