Lukas 1:39-45
Beberapa waktu kemudian berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda. Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet. Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana.”
***
Apa yang terjadi ketika kita berjumpa dengan seorang yang hebat, artis, atau tokoh terkenal lainnya? Biasanya kita akan cepat-cepat mengabadikan momen itu, lalu menyebarkannya melalui media sosial agar peristiwa yang istimewa itu diketahui oleh banyak orang. Dorongan untuk menyebarluaskan, atau lebih tepatnya memamerkan, sangat kuat dalam diri orang-orang zaman sekarang. Tidak mengherankan bahwa banyak di antara kita yang cenderung reaktif, di mana respons positif akan membuat kita gembira dan respons negatif seketika membuat kita terpukul. Begitu mudahnya kita diombang-ambingkan oleh faktor eksternal, yakni tanggapan orang lain terhadap diri kita.
Namun, Elisabet dalam bacaan Injil hari ini tidak bersikap seperti itu. Perjumpaannya dengan pribadi yang hebat, yakni Maria, tidak membuatnya menjadi takabur dan sombong. Dengan rendah hati, ia justru mengatakan, “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” Elisabet tidak menempatkan dirinya sebagai orang yang pantas dikunjungi. Dia juga tidak menyombongkan diri, padahal dia sendiri adalah (calon) ibu dari seorang yang kelak akan menjadi pembuka jalan bagi sang Juru Selamat, yakni Yohanes Pembaptis. Mengikuti jejak sang ibu, Yohanes Pembaptis nantinya juga menjadi seorang yang rendah hati, sebab tentang Yesus, ia berkata, “Membuka tali kasut-Nyapun aku tidak layak” (Yoh. 1:27).
Kerendahan hati adalah keutamaan Elisabet dan Yohanes Pembaptis. Dalam bahasa Latin, istilah untuk rendah hati adalah humilis, yang dekat dengan kata “humus”. Karena itu, orang yang rendah hati ibarat tanah berhumus. Tanah itu subur, mendukung pertumbuhan berbagai macam jenis benih. Orang yang rendah hati adalah orang yang mudah untuk mengakui kesalahan sendiri dan mengampuni kesalahan orang lain, mudah untuk belajar dari orang lain, serta mudah untuk terbuka dan bersyukur atas setiap anugerah yang diberikan Tuhan.
Kehadiran Maria bersama Anak dalam kandungannya adalah anugerah bagi Elisabet. Rasa tidak pantas membuat Elisabet mampu untuk mengalami sukacita yang luar biasa. Sukacita ini juga dirasakan oleh anak yang ada dalam kandungannya, yang kelak juga akan mewartakan sukacita atas kehadiran sang Juru Selamat. Sukacita sejati lahir bukan dari pujian atau komentar orang lain, melainkan dari pengalaman rohani yang terdalam, yakni merasakan kehadiran Tuhan yang mengunjungi, menyapa, mendekati, dan menyentuh diri kita. Kita, manusia yang rapuh dan lemah ini, dikunjungi dan diselamatkan oleh-Nya! Pertanyaan refleksi bagi kita: Siapkah hati kita menerima kehadiran-Nya? Bagaimana kita membuat diri kita layak bagi-Nya yang akan lahir dalam palungan hati kita?