Lukas 14:1-6
Pada suatu hari Sabat Yesus datang ke rumah salah seorang pemimpin dari orang-orang Farisi untuk makan di situ. Semua yang hadir mengamat-amati Dia dengan saksama. Tiba-tiba datanglah seorang yang sakit busung air berdiri di hadapan-Nya. Lalu Yesus berkata kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu, kata-Nya: “Diperbolehkankah menyembuhkan orang pada hari Sabat atau tidak?” Mereka itu diam semuanya. Lalu Ia memegang tangan orang sakit itu dan menyembuhkannya dan menyuruhnya pergi. Kemudian Ia berkata kepada mereka: “Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya atau lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?” Mereka tidak sanggup membantah-Nya.
***
Undangan yang diterima Yesus dari salah seorang pemimpin kaum Farisi merupakan salah satu kebiasaan di kalangan masyarakat Yahudi pada waktu itu. Mengundang makan seorang guru terkemuka bahkan dianggap sebagai sesuatu yang mulia. Kedermawanan ini tidak bertentangan dengan aturan Sabat karena makanan disiapkan sehari sebelumnya, yang dikenal sebagai “hari persiapan”. Pada waktu itu, siapa pun bisa masuk ke rumah tempat perjamuan diadakan, termasuk orang sakit yang dikisahkan dalam bacaan Injil hari ini.
Melihat orang yang sakit busung air itu, Yesus bertanya apakah menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat diperbolehkan atau tidak. Orang-orang yang ada di situ tidak berani menjawab pertanyaan tersebut, tetapi mereka melihat-lihat apa yang akan dilakukan oleh Yesus. Kalau Yesus melakukan penyembuhan, mereka sudah bersiap melancarkan tuduhan kepada-Nya bahwa Ia melanggar aturan hari Sabat.
Pada akhirnya, mukjizat penyembuhan tetap dilakukan oleh Yesus. Kepada orang-orang yang hadir di tempat itu, Ia mengemukakan sebuah argumen yang tak terbantahkan: Jika seorang anak atau seekor lembu jatuh ke dalam sumur pada hari Sabat, mereka pasti akan langsung memberikan pertolongan singkirkan. Hal yang sama juga pantas diterima oleh orang-orang yang sakit dan yang menderita. Tindakan penyembuhan merupakan bagian dari perbuatan kasih!
Pada dasarnya, setiap aturan, entah secara sipil ataupun keagamaan, dimaksudkan untuk mendorong manusia agar menjadi lebih baik. Orang Farisi melupakan tujuan tersebut dengan meletakkan hukum di atas segala-galanya, berbeda dengan Yesus yang menjadikan manusia sebagai prioritas. Ia datang ke tengah dunia dan mempersembahkan nyawa-Nya sendiri di kayu salib manusia, yakni kita semua, diselamatkan dan memiliki hidup. Tuhan mengasihi kita karena kita begitu berharga di mata-Nya.
Dalam hal mencintai, Tuhan tidak pernah beristirahat. Karena itu, kita pun harus bersikap demikian. Hendaknya kita tidak pernah berhenti dan tidak pernah lelah dalam mengasihi orang lain. Seperti yang diteladankan Yesus, cinta kita terhadap sesama hendaknya tidak memiliki batas.