Konsep Keselamatan Allah

Minggu, 12 September 2021 – Hari Minggu Biasa XXIV

97

Markus 8:27-35

Kemudian Yesus beserta murid-murid-Nya berangkat ke kampung-kampung di sekitar Kaisarea Filipi. Di tengah jalan Ia bertanya kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: “Kata orang, siapakah Aku ini?” Jawab mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, ada pula yang mengatakan: seorang dari para nabi.” Ia bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka jawab Petrus: “Engkau adalah Mesias!” Lalu Yesus melarang mereka dengan keras supaya jangan memberitahukan kepada siapa pun tentang Dia.

Kemudian mulailah Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari. Hal ini dikatakan-Nya dengan terus terang. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegur Dia. Maka berpalinglah Yesus dan sambil memandang murid-murid-Nya Ia memarahi Petrus, kata-Nya: “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”

Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.”

***

Melalui pengakuan iman Petrus, Yesus memberikan pewartaan tentang diri-Nya kepada para murid. Kemantapan Petrus untuk mengakui siapa Yesus menjadi tanda kepasrahan hatinya kepada Yesus. Hal ini dapat terjadi karena Petrus adalah orang yang menyaksikan berbagai mukjizat Yesus. Keluarganya pun pernah merasakan sendiri mukjizat yang dilakukan Yesus. Karena itu, secara manusiawi Petrus dapat mengungkapkan keyakinannya. Biasanya, ketika seseorang diberi banyak rezeki dan kebaikan, ia tidak akan berbicara miring atau menjelek-jelekkan si pemberi. Ini sudah lumrah. Ia percaya kepada orang itu karena sudah menerima kebaikannya, seolah-olah kepercayaan tersebut menjadi balas budi yang nilainya sepadan.

Namun, melalui warta penderitaan-Nya, Yesus hendak memberi pengetahuan bahwa sebagai pengikut-Nya, kita harus akrab pula dengan prinsip “tetap bersyukur kendati sedang susah”. Ini sulit, sebab Petrus saja gagal memahami maksud Yesus. Kecaman “enyahlah Iblis” merupakan bukti betapa nalar Petrus masih agak dangkal. Dalam pikirannya, Yesus yang berkuasa tidak mungkin dapat ditumbangkan musuh. Petrus masih mengedepankan keinginan daging dan cara berpikir manusiawi dalam mereka-reka rencana keselamatan Allah.

Jika tidak jeli, cara pikir seperti itu akan membawa kita pada kuasa kegelapan. Terkadang kita menjadi pribadi yang egois, mau mendominasi dan menguasai, pilih kasih, abai, atau bahkan mencari keuntungan sendiri. Di sisi itulah semangat beriman kita sebenarnya sedang dilemahkan. Bila kita masih mau memprioritaskan keinginan daging masing-masing, mungkin saja apa yang dikatakan Yesus kepada Petrus dikatakan pula kepada kita: “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”

Inti pesan Yesus hari ini adalah: Kita perlu membangun diri melalui konsep Allah. Yang manusiawi itu perlu, tetapi keselamatan bukan hanya soal hidup di dunia. Keselamatan justru diagendakan untuk masa depan sebagaimana janji Allah. Karena itu, kita harus menyatukan kehendak di dalam rencana Allah agar pengakuan iman kita dapat bertahan dalam segala situasi hidup yang sedang kita jalani.