Markus 6:1-6
Kemudian Yesus berangkat dari situ dan tiba di tempat asal-Nya, sedang murid-murid-Nya mengikuti Dia. Pada hari Sabat Ia mulai mengajar di rumah ibadat dan jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia dan mereka berkata: “Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya? Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia. Maka Yesus berkata kepada mereka: “Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya.” Ia tidak dapat mengadakan satu mujizat pun di sana, kecuali menyembuhkan beberapa orang sakit dengan meletakkan tangan-Nya atas mereka. Ia merasa heran atas ketidakpercayaan mereka.
Lalu Yesus berjalan keliling dari desa ke desa sambil mengajar.
***
Kebenaran seharusnya membahagiakan dan memerdekakan, tetapi ada kalanya justru menyakitkan. Hal itu akan dirasakan oleh orang yang melakukan kesalahan atau menyembunyikan sesuatu, namun pada akhirnya terbongkar atau diketahui paksa oleh orang lain. Kebenaran menjadi seperti “duri dalam daging” karena ada hal yang tidak beres, apalagi jika kebenaran itu terkait dengan hal-hal yang ilahi, prinsipiil, atau moril. Bisa jadi reaksi orang yang melakukan kesalahan atau menyembunyikan sesuatu adalah melakukan penolakan atau perlawanan. Banyak contoh kisah nyata, di mana orang berusaha menolak atau melakukan perlawanan terhadap kebenaran.
Yesus ditolak di tempat asal-Nya karena orang-orang yang mendengar pengajaran-Nya tidak siap. Dalam benak mereka, Yesus tidak lebih dari anak seorang tukang kayu, anak Maria. Mereka mengenal keluarga Yesus. Bagaimana mungkin Yesus yang seperti itu mengajarkan tentang yang ilahi, moral, atau religi seperti yang mereka dengar?
Pokok kebenaran yang selalu diajarkan Yesus adalah tentang kesetiaan iman pada Tuhan, mengampuni musuh, berdoa bagi orang yang berbuat salah, membantu orang yang miskin dan membutuhkan, bersikap jujur dan adil, kerendahan hati, serta pertobatan. Jika direnungkan secara mendalam, kebenaran yang diwartakan Yesus menjadi “duri dalam daging” bagi orang-orang yang sedang “menyembunyikan sesuatu”. Namun, bagi orang-orang yang mengharapkan kebenaran, warta Yesus menjadi oase atau angin segar yang meneguhkan.
Pada titik inilah kita bisa memahami mengapa orang-orang sekampung dengan Yesus menolak diri-Nya. Kebenaran yang diwartakan Yesus tidak serta-merta diterima. Mereka menolak Yesus, tidak mau dengan rendah hati menerima bahwa apa yang dikatakan Yesus adalah benar. Mereka tersinggung. Secara objektif, apa yang dikatakan Yesus benar; tetapi secara subjektif, mereka berpikir, “Ah, itu kan yang mengatakan Yesus, anak seorang tukang kayu.”
Mari kita bertanya pada diri kita sendiri. Pertama, di satu sisi, apakah kebenaran sabda Yesus menjadi “duri dalam daging” bagi hidup kita? Jika ya, bisa jadi kita sedang menyembunyikan sesuatu atau melakukan kesalahan. Mari kita mohon pengampunan Tuhan dan membangun niat untuk memperbaiki kesalahan.
Kedua, di sisi lain, apakah kita juga mengalami penolakan karena mewartakan kebenaran? Penolakan memang menyakitkan, apalagi kalau disertai dengan ancaman, penganiayaan, bahkan pembunuhan.
Rasul Paulus, dalam bacaan kedua hari ini (2Kor. 12:7-10), membagikan pengalamannya tentang “duri dalam daging”. Agar ia tidak meninggikan diri, ia dihantam oleh utusan Iblis. Tiga kali ia meminta kepada Tuhan agar utusan Iblis itu mundur darinya, tetapi Tuhan menjawab, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Paulus lalu melanjutkan tugas pengutusannya dengan keyakinan, “Jika aku lemah, maka aku kuat.”
Semoga bacaan-bacaan hari ini semakin menguatkan iman kita untuk memperbaiki diri. Kita juga mohon kekuatan dalam menghadapi penolakan, ancaman, dan penganiayaan karena kebenaran yang kita tegakkan atau wartakan. Satu hal yang harus kita ingat, Tuhan bersabda, “Justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.”