Matius 7:1-5
“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”
***
Kita sering menjumpai hujatan dan komentar yang bersifat bullying di media sosial. Banyak orang tidak sadar akan dampak buruk yang timbul, bahwa korban bisa saja depresi, bahkan bunuh diri. Contohnya, Sulli mantan anggota sebuah girlband Korea yang ditemukan bunuh diri di rumahnya pada tahun 2019. Ia diduga depresi karena mendapat komentar buruk dari netizen. Enam minggu kemudian, Goo Hara, anggota girlband lain juga bunuh diri. Alasannya masih sama: Komentar buruk dari netizen.
Orang yang suka menghakimi selalu merasa dirinya paling benar, sedangkan orang lain salah. Ia cenderung memaksakan pandangan dan kehendaknya kepada orang lain. Oleh karena itu, ia lebih suka didengarkan daripada mendengarkan. Orang seperti ini juga sulit melihat kebaikan orang lain, sebab orang lain di matanya buruk semua. Karena itu, apa pun yang dilakukan orang lain selalu salah di matanya. Ia tidak bisa memuji orang lain.
Yesus memerintahkan kita untuk berhenti menghakimi. Sikap menghakimi hanya berdampak buruk bagi siapa pun, termasuk diri kita sendiri. Ia justru mengajak kita untuk belajar wawas diri. Kita masing-masing memiliki kekurangan. Untuk berkembang, kita perlu mengoreksi diri kita terlebih dahulu. “Keluarkanlah dahulu balok dari matamu.” Mengoreksi diri dimulai ketika kita mengenal kelemahan kita dan mengakuinya dengan jujur. Sering kali kelemahan melekat begitu erat pada diri kita, sehingga kita kurang mampu melihatnya. Karena itu, kita perlu lebih banyak hening untuk berefleksi dan mengenali diri. Kalau kita sudah menemukannya, kita perlu dengan rendah hati mengakuinya.
Kalau sudah cukup mengoreksi diri, barulah kita mengoreksi orang lain. Ketika kita mengoreksi seseorang, kita melakukannya bukan untuk menghakiminya, tetapi karena kita peduli terhadapnya. Kita ingin dia berkembang sesuai potensinya. Kata-kata dan tindakan kita mestinya mewujudkan semangat kepedulian itu. Hujatan dan perundungan tidak menunjukkan kepedulian kita. Saudara-saudari sekalian, mari belajar rendah hati dan peduli supaya kita terhindar dari sikap menghakimi.