Markus 7:31-37
Kemudian Yesus meninggalkan pula daerah Tirus dan dengan melalui Sidon pergi ke danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekapolis. Di situ orang membawa kepada-Nya seorang yang tuli dan yang gagap dan memohon kepada-Nya, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu. Dan sesudah Yesus memisahkan dia dari orang banyak, sehingga mereka sendirian, Ia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu. Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: “Efata!”, artinya: Terbukalah! Maka terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik. Yesus berpesan kepada orang-orang yang ada di situ supaya jangan menceriterakannya kepada siapa pun juga. Tetapi makin dilarang-Nya mereka, makin luas mereka memberitakannya. Mereka takjub dan tercengang dan berkata: “Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.”
***
Hari ini adalah hari yang spesial bagi saudara-saudari yang merayakan tahun baru Imlek. Ini adalah momentum kebaruan dan momentum bersama keluarga. Marilah saat yang istimewa ini kita refleksikan dengan konteks bacaan Injil hari ini.
Ada kesamaan antara momentum Imlek dan bacaan Injil hari ini, yaitu kesadaran untuk terbuka pada rahmat Allah. Kita diajak untuk selalu mau terbuka. Sikap terbuka mengandaikan kemauan untuk belajar secara aktif. Di dalamnya ada kerendahan hati dan penerimaan. Imlek juga merupakan ajang untuk terbuka dan penerimaan pada rahmat keluarga. Ada harapan untuk terbuka pada rahmat Tuhan setelah tahun yang baru: Harapan untuk semakin diberkati dan ditemani oleh-Nya.
Saya teringat akan pengalaman beberapa minggu lalu, di mana seseorang mengirim pesan singkat kepada saya. Isinya, ia mengucapkan terima kasih bahwa boleh menerima sakramen pengampunan dosa saat retret di Civita persis satu tahun lalu ketika masih kelas 3 SMA. Ia mengatakan bahwa setelah pengakuan dosa, ia belajar untuk menerima kekurangan diri dan melangkah menjadi pribadi yang semakin baik. Ia siap menerima rahmat lainnya setelah mampu menerima kekurangan diri. Bagi saya, ini adalah ungkapan keterbukaan pada rahmat Allah.
Saudara-saudari terkasih, sungguhkah kita sudah terbuka pada rahmat Allah?