Lukas 1:46-56
Lalu kata Maria: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus. Dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia. Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa; Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya, seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya.”
Dan Maria tinggal kira-kira tiga bulan lamanya bersama dengan Elisabet, lalu pulang kembali ke rumahnya.
***
Dalam salah satu postingan Facebook, seorang sahabat pernah menulis demikian: “Bahagia bukanlah milik dia yang hebat dalam segalanya, namun dia yang mampu menghayati hal sederhana dalam hidupnya dan tetap bersyukur. Dan, setiap ucapan syukur akan lebih bergema jika tidak hanya sebatas kata-kata, tetapi hendaknya juga diwujudkan lewat perbuatan.”
Menanggapi sapaan Elisabet yang memanggilnya sebagai “ibu Tuhan”, Maria mengumandangkan sebuah lagu pujian, Magnificat, yang secara mendalam mengungkapkan kebesaran Tuhan, terutama atas karya penyelamatan-Nya melalui dirinya. Dalam lagu pujian tersebut, Maria merasakan betapa Tuhan telah melakukan hal-hal besar atas dirinya. Dia, seorang hamba yang rendah hati, terpilih menjadi ibu dari Putra Allah.
Iman Maria adalah iman yang rendah hati, kokoh, dan berkomitmen kuat dalam mewujudkan rencana agung Allah di tengah dunia. Dalam Magnificat, Maria mengakui kerendahan hatinya dan meninggikan kuasa Allah: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku.” Demikianlah Maria dipenuhi dengan sukacita ilahi. Dia mengungkapkan kegembiraan jiwa dan rohnya, memuji kebesaran dan belas kasihan Tuhan, sebab berkenan menganugerahkan keselamatan bagi semua orang. Sejatinya, ketika Maria mengatakan bahwa jiwanya memuliakan Tuhan, ia benar-benar berikhtiar bahwa seluruh hidupnya akan memuliakan Tuhan.
Pujian dan ungkapan hati Maria ini bisa menjadi ungkapan iman kita kepada Tuhan. Seperti pengalaman iman Maria, ada begitu banyak hal yang perlu kita syukuri sebagai bukti belas kasihan Tuhan yang tak ada batasnya. Kita harus bersyukur dan memuliakan Tuhan karena dalam seluruh kekurangan dan kelemahan manusiawi kita, Tuhan tidak pernah membiarkan kita merasa ditinggalkan. Karena kasih-Nya begitu besar, Allah mengutus Putra tunggal-Nya sebagai penebus dan penyelamat dunia.
Lebih dari itu, ungkapan syukur kita atas kebesaran Tuhan mestinya tidak sebatas kata-kata hampa, namun harus diwujudnyatakan dalam relasi kita dengan sesama yang lain. Setiap ucapan syukur menuntut kita untuk keluar dari zona nyaman dan menyingkirkan seluruh keinginan diri, turun dari takhta keegoisan, menyadari kelemahan dan dosa-dosa kita, serta berjuang dengan teguh membangun kedamaian di tengah dunia, di mana ketidakadilan dan kejahatan sering kali bersuara lebih nyaring.
Setiap ungkapan syukur menjadi lebih bermakna ketika kita berhenti menjadi seperti penguasa muda yang angkuh dan congkak. Setiap pujian akan lebih bergema ketika kita merendahkan diri dan berusaha merangkul semua orang tanpa tebang pilih. Tinggal menghitung hari, Kristus akan datang ke dunia dan tinggal di antara kita. Mari kita menggemakan ungkapan syukur kita atas kebesaran kasih dan kemuliaan Allah melalui perbuatan-perbuatan baik kita kepada sesama yang lain. Biarkanlah perbuatan-perbuatan baik kita di dunia terus bergema dan mengagungkan kebesaran Tuhan.