Matius 25:1-13
“Pada waktu itu hal Kerajaan Surga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki. Lima di antaranya bodoh dan lima bijaksana. Gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya, tetapi tidak membawa minyak, sedangkan gadis-gadis yang bijaksana itu membawa pelitanya dan juga minyak dalam buli-buli mereka. Tetapi karena mempelai itu lama tidak datang-datang juga, mengantuklah mereka semua lalu tertidur. Waktu tengah malam terdengarlah suara orang berseru: Mempelai datang! Songsonglah dia! Gadis-gadis itu pun bangun semuanya lalu membereskan pelita mereka. Gadis-gadis yang bodoh berkata kepada gadis-gadis yang bijaksana: Berikanlah kami sedikit dari minyakmu itu, sebab pelita kami hampir padam. Tetapi jawab gadis-gadis yang bijaksana itu: Tidak, nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu. Lebih baik kamu pergi kepada penjual minyak dan beli di situ. Akan tetapi, waktu mereka sedang pergi untuk membelinya, datanglah mempelai itu dan mereka yang telah siap sedia masuk bersama-sama dengan dia ke ruang perjamuan kawin, lalu pintu ditutup. Kemudian datang juga gadis-gadis yang lain itu dan berkata: Tuan, tuan, bukakanlah kami pintu! Tetapi ia menjawab: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya aku tidak mengenal kamu. Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya.”
***
Menjadi pribadi yang bijaksana, itulah inti dari bacaan pertama dan bacaan Injil yang kita dengar hari ini. Bacaan pertama dari kitab Kebijaksanaan (Keb. 6:13-17) menggambarkan bahwa kebijaksanaan itu bersinar dan tidak dapat layu. Kebijaksanaan mudah dipandang oleh yang memperhatikannya dan ditemukan oleh mereka yang mencarinya. Tampak jelas betapa kebijaksanaan bukan hanya milik orang atau golongan tertentu, melainkan milik semua orang. Hanya saja, yang membedakan satu sama lain adalah cara dan usaha masing-masing orang untuk mencapai taraf kebijaksanaan.
Kebijaksanaan tidak hanya ditentukan oleh usia, tetapi juga oleh akal budi, hati nurani, ketenangan batin, dan tentu saja kemurnian rohani. Memang sering kali yang dianggap bijaksana adalah mereka yang sudah berusia lanjut atau yang sudah berpengalaman. Namun, cukupkah hanya bermodalkan usia dan pengalaman untuk menemukan suatu kebijaksanaan? Kiranya tidak. Melalui bacaan Injil, kita bisa belajar beberapa hal.
Bacaan Injil hari ini menceritakan tentang gadis-gadis bodoh dan gadis-gadis bijaksana. Modal awal yang mereka miliki sama, tetapi yang menentukan adalah cara dan usaha masing-masing. Gadis-gadis bodoh tidak menyiapkan persediaan minyak dalam botol, sedangkan gadis-gadis bijaksana menyiapkannya. Yang disebut terakhir menunjukkan bahwa mereka mampu berpikir secara jangka panjang. Itulah kelebihannya. Dengan berpikir jangka panjang, mereka mampu membuat antisipasi, mencari alternatif, dan selalu berjaga-jaga. Mereka bersiap secara sungguh-sungguh dan mengerti apa yang akan mereka lakukan. Karakter gadis-gadis bijaksana ini adalah reflektif, bukan reaktif.
Dengan berefleksi, akan lahir komunikasi secara batin yang akhirnya membentuk ketenangan diri. Dalam kehidupan sehari-hari, berefleksi merupakan kesempatan bagi kita untuk berdialog dengan Tuhan. Kita bisa mencermati kegiatan kita setiap hari, mengoreksi dan mengevaluasi diri sembari meminta Tuhan untuk berbicara. Dengan ditopang oleh kecerdasan akal budi, semakin kuatlah harapan kita untuk mendapatkan kebijaksanaan. Mereka yang reflektif akan terlatih untuk berpikir matang atas segala informasi yang diterima dan atas tindakan yang akan dibuatnya. Berusaha menjadi pribadi yang reflektif juga turut mencegah tumbuhnya fanatisme sempit, egoisme, maupun kecenderungan membenarkan diri sendiri.
Sekarang ini kita terutama menghadapi tantangan yang berasal dari dunia digital. Di sana ada aneka informasi dengan berbagai macam tujuan. Meneladan gadis-gadis bijaksana, ada baiknya kita menggunakan cara pikir jangka panjang dalam menyikap sarana-sarana digital untuk kehidupan kita sehari-hari. Artinya, kita menjadi pribadi yang matang, bukan sebatas mengikuti zaman atau arus dunia. Kita belajar menggunakan akal budi, batin yang tenang, dan wawasan yang luas untuk menyikapi berbagai hal yang muncul dari dunia digital. Harapannya, kita jadi tidak terpancing untuk bereaksi secara emosional, tetapi sungguh-sungguh mampu bersikap tenang.
Kebijaksanaan dalam menggunakan media digital akan melatih kita menjadi pribadi yang matang dalam kehidupan zaman ini. Dari situ, kita juga akan semakin memiliki kemampuan untuk berpikir jangka panjang, sehingga kita pun akan senantiasa mempertahankan kebenaran yang sungguh-sungguh, bukan kebenaran yang semu.