Matius 5:1-12a
Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Maka Yesus pun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga.”
***
Paus Fransiskus menegaskan bahwa menjadi kudus pada “zaman now” bukanlah hal yang mustahil. Dalam seruan apostolik Gaudete et Exultate – “Bersukacitalah dan Bergembiralah” – ia mengajak kita merenungkan apa arti menjadi kudus menurut Yesus, sebagaimana tersurat dalam sabda bahagia yang disampaikan-Nya. Mari kita melihat sabda bahagia ini satu per satu.
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga.” Miskin di hadapan Allah artinya memiliki hati yang lepas bebas dari segala ciptaan, yakni bersikap ugahari. Ketika seseorang merasa kaya, ia akan berpuas diri dan tidak menyisakan ruang bagi sabda Allah, bagi kasih akan sesama, dan bagi kegembiraan yang paling mendalam dalam hidup ini. Ia memandang kekayaan lebih dari segalanya, sehingga hanya terfokus untuk mengejar hal itu. Kita diajak untuk menjadi orang yang miskin di hadapan Allah. Orang yang miskin di hadapan Allah adalah orang yang bisa berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Menjadi miskin dalam hati, itulah kekudusan.
“Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.” Ketika kenikmatan, hiburan, dan kesenangan dianggap lebih baik dari penderitaan, orang akan lari dari kenyataan. Penderitaan dan salib adalah bagian tak terpisahkan dalam hidup manusia. Justru ketika orang bisa menerima penderitaan dalam hidupnya, dia akan memperoleh kebahagiaan sejati yang berasal dari Yesus yang juga menderita demi umat manusia. Orang yang bisa menerima penderitaan dalam hidupnya adalah juga orang yang bisa mengerti dan memahami penderitaan orang lain, serta memberikan bantuan kepada sesama. Tahu bagaimana menangis dengan sesama, itulah kekudusan.
“Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.” Di tengah maraknya kebencian, permusuhan, dan diskriminasi karena SARA, Yesus mengajak kita untuk bersikap lemah lembut. Bukankah dengan itu kita nanti bisa dianggap bodoh dan lemah? Yesus mengingatkan bahwa sikap lemah lembut justru akan membawa pada ketenangan jiwa (bdk. Mat. 11:29). Kalau kita terus-menerus angkuh di hadapan sesama, kita akan menjadi lelah dan letih. Namun, kalau kita memandang kesalahan serta keterbatasan sesama dengan kelembutan hati dan kasih, tidak dengan rasa lebih unggul, kita dapat secara nyata membantu mereka dan menghindari menghabiskan energi dengan keluhan-keluhan yang tiada gunanya. Menanggapi dengan lemah lembut dan rendah hati, itulah kekudusan.
“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.” Dunia kita sekarang ini diwarnai dengan komersialisasi. Segala sesuatu diperjualbelikan demi keuntungan pribadi atau golongan. Tidak heran, banyak orang kemudian terlibat dalam korupsi dan politik kepentingan, sehingga keadilan dan kebenaran dikorbankan. Di tengah situasi seperti ini, hanya mereka yang haus dan lapar akan kebenaran akan dipuaskan, sebab cepat atau lambat keadilan pasti akan datang. Lapar dan haus akan kebenaran, itulah kekudusan.
“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.” Murah hati memiliki dua sisi, sisi yang satu adalah memberi, membantu, dan melayani sesama, sedangkan sisi yang lain adalah mengampuni dan memahami. Paus Fransiskus mengingatkan kita akan ukuran yang akan dikenakan kepada kita (bdk. Luk 6:38). “Ukuran yang kita pakai untuk memahami dan mengampuni sesama akan diterapkan pada kita untuk mengampuni kita. Ukuran yang kita gunakan dalam memberi akan diterapkan pada kita di surga untuk mengganjar kita. Hendaknya kita tidak pernah melupakan hal ini.” Memandang dan bertindak dengan belas kasih, itulah kekudusan.
“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.” “Hati” yang dimaksud dalam ayat ini adalah kehendak atau niat terdalam yang mendasari sikap dan perbuatan kita. Hati yang suci adalah hati yang sederhana, murni, bersih, tanpa noda, hati yang sanggup mengasihi, yang tidak membiarkan apa pun bisa mengancam, melemahkan, atau membahayakan kasih tersebut. Menjaga hati tetap bersih dari segala yang menodai kasih, itulah kekudusan.
“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” Hoax, gosip, kesalahpahaman, dan konflik adalah situasi nyata yang sering kita hadapi sehari-hari. Di tengah situasi demikian, Yesus mengajak kita untuk menjadi sumber perdamaian, membangun perdamaian dan persahabatan sosial. Menaburkan perdamaian di sekitar kita, itulah kekudusan.
“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga.” Kebenaran injili yang ditawarkan Yesus bertolak belakang dengan kebenaran duniawi. Tidak heran bahwa sejak zaman Yesus sampai sekarang, penolakan, penganiayaan, dan ejekan terhadap ajaran dan pengikut-Nya terjadi di mana-mana. Paus Fransiskus mengingatkan kita, “Salib, khususnya kelelahan dan penderitaan yang kita alami dalam menghayati perintah kasih dan mengikuti jalan keadilan, tetap merupakan sumber pendewasaan dan pengudusan kita.” Menerima jalan Injil setiap hari meskipun mendatangkan banyak masalah bagi kita, itulah kekudusan.