Matius 18:1-5, 10, 12-14
Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Surga?” Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Surga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.”
Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di surga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di surga.
Bagaimana pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor di antaranya sesat, tidakkah ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan dan pergi mencari yang sesat itu? Dan Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jika ia berhasil menemukannya, lebih besar kegembiraannya atas yang seekor itu daripada atas yang kesembilan puluh sembilan ekor yang tidak sesat. Demikian juga Bapamu yang di surga tidak menghendaki supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang.”
***
Bagi Yesus, yang menjadi ukuran kasih itu bukan melulu soal kuantitas, melainkan juga kualitas. Hal inilah yang mendasari keberpihakan-Nya kepada orang-orang kecil. Kemiskinan, penyakit, penderitaan, dan ketidakberdayaan tidak menghilangkan nilai hidup seseorang di mata Allah. Dengan ajaran-Nya, Yesus mendobrak segala praktik negatif yang sering kali terjadi dalam kehidupan manusia. Manusia sering kali terlalu mementingkan harta, jabatan, status, pangkat, dan lain sebagainya. Namun, kasih sayang Allah sebagai sang Pencipta kepada segala mahluk ciptaan-Nya tidak pernah hilang ataupun berkurang.
Gambaran kasih Allah seperti itulah yang mendasari panggilan Nabi Yehezkiel (bacaan pertama, Yeh 2:8 – 3:4). Israel kala itu sedang menjauh dari Allah. Mereka melupakan Dia yang menopang kehidupan mereka. Dosa dan kesalahan Israel digambarkan tertera dalam gulungan kitab yang ditulis bolak balik. Isinya penuh dengan ratapan, keluh kesah, dan rintihan. Namun, Allah tidak menghendaki umat pilihan-Nya hancur seperti itu. Nabi Yehezkiel disuruh-Nya memakan gulungan kitab tadi. Aneh, rasanya ternyata manis seperti madu. Dengan ini, Allah meletakkan kata-kata-Nya ke dalam mulut Yehezkiel, kata-kata penghiburan yang akan menguatkan umat pilihan untuk bisa menemukan jalan pulang dan berbalik kepada-Nya.