Pertobatan Sejati

Rabu, 4 Maret 2020 – Hari Biasa Pekan I Prapaskah

443

Yunus 3:1-10

Datanglah firman TUHAN kepada Yunus untuk kedua kalinya, demikian: “Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, dan sampaikanlah kepadanya seruan yang Kufirmankan kepadamu.” Bersiaplah Yunus, lalu pergi ke Niniwe, sesuai dengan firman Allah.

Niniwe adalah sebuah kota yang mengagumkan besarnya, tiga hari perjalanan luasnya.

Mulailah Yunus masuk ke dalam kota itu sehari perjalanan jauhnya, lalu berseru: “Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan.” Orang Niniwe percaya kepada Allah, lalu mereka mengumumkan puasa dan mereka, baik orang dewasa maupun anak-anak, mengenakan kain kabung. Setelah sampai kabar itu kepada raja kota Niniwe, turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu. Lalu atas perintah raja dan para pembesarnya orang memaklumkan dan mengatakan di Niniwe demikian: “Manusia dan ternak, lembu sapi dan kambing domba tidak boleh makan apa-apa, tidak boleh makan rumput dan tidak boleh minum air. Haruslah semuanya, manusia dan ternak, berselubung kain kabung dan berseru dengan keras kepada Allah serta haruslah masing-masing berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang dilakukannya. Siapa tahu, mungkin Allah akan berbalik dan menyesal serta berpaling dari murka-Nya yang bernyala-nyala itu, sehingga kita tidak binasa.” Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Ia pun tidak jadi melakukannya.

***

Yunus berarti “merpati.” Siapa yang tidak mengenal nabi ini? Dialah sang merpati yang ingkar janji! Disuruh ke Niniwe, Yunus malah ke Tarsis. Harusnya ke timur, ia malah bergegas ke barat. Demikianlah Yunus adalah nabi yang mau lari dari misinya, mau sejauh mungkin lari dari hadapan Tuhan.

Mampukah ia melakukan itu? Ternyata tidak. Semakin ia menjauh dari Tuhan, kondisinya “semakin turun.” Ia turun ke Yafo, turun ke kapal, turun ke bagian terbawah dari kapal, diturunkan ke laut, dan akhirnya ke perut ikan. Tuhan mengubah pelarian itu menjadi pengalaman rohani Yunus: ia bagaikan “diturunkan ke alam maut.” Untuk menjadi pewarta, ego dan kepentingan dirinya harus dimatikan. Yunus harus kembali ke tugasnya semula, yaitu mewartakan hukuman Allah kepada Niniwe, kota yang terkenal dengan kejahatannya. 

Ia pun akhirnya berangkat. Pewartaannya amat singkat, “Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan.” Tampaknya ini menunjukkan bahwa Yunus memang tidak antusias dengan misinya. Akan tetapi, hasilnya sungguh mencengangkan. Bayangkan, hanya dengan beberapa kata itu, Yunus berhasil mempertobatkan seisi kota. Tidak ada nabi lain yang pewartaannya sukses seperti Yunus. Pertobatan massal seperti itu tidak pernah terjadi di kalangan umat Israel sendiri. Justru itu terjadi di pihak musuh terbesar mereka, bangsa yang paling mereka takuti dan paling mereka benci.

Di situlah ironinya. Israel ternyata harus belajar dari musuhnya tentang pertobatan. Mengapa? Pertama, karena mereka percaya dan membiarkan firman Allah berkarya. Pertobatan adalah hasil karya Allah, sehingga kata-kata manusia tidak banyak artinya. Kalau Tuhan berkenan, bahkan beberapa patah kata saja sudah cukup untuk mengubah satu kota dalam sekejap, kendati kata-kata itu keluar dari mulut pewarta yang kurang antusias.

Kedua, pertobatan selalu bersifat menyeluruh. Bertobat bukan hanya niat, melainkan juga perilaku yang kelihatan. Selain itu, pertobatan bukan hanya bersifat personal, melainkan juga struktural (dari rakyat kecil sampai raja, dari anak-anak sampai orang dewasa) dan ekologis (makhluk-makhluk lain juga ikut berpuasa).

Ketiga, pertobatan berarti berseru kepada Allah dan berbalik dari tingkah laku yang jahat dan dari kekerasan. Bertobat harus dimulai dengan berdoa kepada Allah: melihat kesalahan pribadi terhadap sesama dan ciptaan lainnya sebagai dosa terhadap Allah, sebagai ketidaksetiaan terhadap perjanjian dengan sang Pencipta. Itulah titik tolak untuk memohon rahmat-Nya agar kita dapat berbalik dari semua tingkah laku yang jahat dan perilaku kekerasan.

Keempat, bertobat berarti membiarkan Allah menilai kesungguhan hati kita. Penilaian akhir tersebut adalah milik Dia semata, seperti kata raja Niniwe, “Siapa tahu, mungkin Allah akan berbalik dan menyesal serta berpaling dari murka-Nya yang bernyala-nyala itu, sehingga kita tidak binasa.” Puasa dan pantang, abu dan kain kabung, adalah ungkapan dan tanda pertobatan. Jangan sampai itu semua hanya menjadi pameran kesalehan atau – lebih buruk lagi – dianggap sebagai alat untuk “memaksa” Tuhan agar memberikan pengampunan!