Dimensi Sosial Kesucian

Selasa, 25 Februari 2020 – Hari Biasa Pekan VII

112

Markus 9:30-37

Yesus dan murid-murid-Nya berangkat dari situ dan melewati Galilea, dan Yesus tidak mau hal itu diketahui orang; sebab Ia sedang mengajar murid-murid-Nya. Ia berkata kepada mereka: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.” Mereka tidak mengerti perkataan itu, namun segan menanyakannya kepada-Nya.

Kemudian tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Kapernaum. Ketika Yesus sudah di rumah, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: “Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?” Tetapi mereka diam, sebab di tengah jalan tadi mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka. Lalu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid itu. Kata-Nya kepada mereka: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” Maka Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka: “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”

***

Yesus mengambil seorang anak kecil ketika mengajar para murid-Nya yang ribut tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Mengapa seseorang harus seperti menerima anak kecil ketika menerima Yesus? Anak kecil selain lucu, polos dan menggemaskan sebenarnya adalah simbol masyarakat yang lemah, tanpa pelindung, miskin, dan tidak mampu melakukan banyak hal.

Ajaran ini melengkapi sabda Yesus sebelumnya yaitu bila para murid ingin menjadi yang terbesar haruslah mereka menjadi yang terakhir. Maksudnya, selain para murid harus berjuang secara pribadi, mereka juga harus memikirkan pribadi-pribadi lain. Ini berarti kesucian tidak pernah berputar-putar pada ego seseorang, pada perjuangan pribadinya saja, tetapi memiliki pula aspek sosial. Untuk menjadi suci, orang harus terbuka kepada yang lain, harus pula berpihak kepada orang-orang yang lemah dan tersingkirkan.

Hal ini menjadi sangat penting karena kita mudah sekali jatuh ke dalam pertengkaran, kemarahan, dendam, serta rasa iri hati seperti yang diperingatkan oleh Santo Yakobus dalam bacaan pertama hari ini (Yak. 4:1-10). Iri hati hanya akan membawa kita kepada ketidakbahagiaan. Karena itu, kita harus memperlakukan sesama sebagai saudara, bukan sebagai saingan.