Demi Sesuatu yang Lebih Baik

Minggu, 10 November 2019 – Hari Minggu Biasa XXXII

170

Lukas 20:27-38

Maka datanglah kepada Yesus beberapa orang Saduki, yang tidak mengakui adanya kebangkitan. Mereka bertanya kepada-Nya: “Guru, Musa menuliskan perintah ini untuk kita: Jika seorang, yang mempunyai saudara laki-laki, mati sedang isterinya masih ada, tetapi ia tidak meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu. Adalah tujuh orang bersaudara. Yang pertama kawin dengan seorang perempuan lalu mati dengan tidak meninggalkan anak. Lalu perempuan itu dikawini oleh yang kedua, dan oleh yang ketiga dan demikianlah berturut-turut oleh ketujuh saudara itu, mereka semuanya mati dengan tidak meninggalkan anak. Akhirnya perempuan itu pun mati. Bagaimana sekarang dengan perempuan itu, siapakah di antara orang-orang itu yang menjadi suaminya pada hari kebangkitan? Sebab ketujuhnya telah beristerikan dia.” Jawab Yesus kepada mereka: “Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, tetapi mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan dalam kebangkitan dari antara orang mati, tidak kawin dan tidak dikawinkan. Sebab mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan. Tentang bangkitnya orang-orang mati, Musa telah memberitahukannya dalam nas tentang semak duri, di mana Tuhan disebut Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup.”

***

Budi bercita-cita hendak menjadi dokter. Ia tahu bahwa tuntutan untuk menjadi dokter itu tidak mudah: butuh banyak pengorbanan, baik material (dana, buku-buku, peralatan) maupun nonmaterial (ketekunan, kesabaran, kepandaian). Karena tuntutan akademis untuk menjadi dokter tidak ringan, Budi belajar dengan tekun. Ia tidak bisa bersantai-santai saja. Sejumlah teman mengejek Budi. Menurut pandangan mereka, masa remaja seharusnya diisi dengan bersenang-senang, bermain, dan berpetualang, bukan berkutat dengan buku-buku tebal. Dalam anggapan mereka, Budi telah kehilangan masa remajanya. Meskipun demikian, Budi mengabaikan suara-suara sumbang tersebut. Ia tetap fokus pada tujuannya, sebab seorang dokter adalah profesi yang mulia, yang dibutuhkan oleh banyak orang.

Bacaan pertama kita hari ini (2Mak. 7:1-2, 9-14) berkisah tentang tujuh bersaudara dan ibu mereka. Mereka ditangkap oleh Raja Antiokhus Epifanes dan dipaksa untuk melanggar hukum Taurat. Meskipun disiksa dan berhadapan dengan ancaman maut, hati mereka tetap teguh. Bagi mereka, lebih baik mati daripada melanggar hukum yang mulia. Kunci keteguhan mereka ternyata terletak pada iman akan kebangkitan. Mereka mengimani bahwa kesetiaan kepada kehendak Allah akan mengantar mereka kepada kehidupan kekal. Nilai kehidupan kekal tentunya sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan segala sesuatu di dunia ini. Karena itu, demi tujuan mulia tersebut, mereka rela mengorbankan segalanya, bahkan nyawa mereka sendiri.

Sementara itu, dalam bacaan Injil hari ini, Yesus dikisahkan berhadapan dengan orang Saduki yang tidak mengakui adanya kebangkitan. Mereka menyangkal adanya kebangkitan dengan mengangkat tradisi perkawinan levirat (Ul. 25:5-10). Menurut ketentuan perkawinan levirat atau perkawinan ipar, seorang laki-laki diharuskan menikahi janda saudaranya yang tidak mempunyai anak laki-laki, supaya dia bisa menghasilkan anak-anak yang akan meneruskan garis keturunan saudaranya itu. Dari situ orang Saduki mempertanyakan siapa yang akan menjadi suami dari perempuan itu pada hari kebangkitan.

Menjawab pertanyaan mereka, Yesus menegaskan bahwa Allah bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup. Kehidupan di surga jangan disamakan dengan kehidupan di dunia, sebab di sana segala sesuatunya nanti akan diperbarui. Berbicara tentang perkawinan tidak lagi relevan, sebab dalam kehidupan kekal, kita pada akhirnya meraih tujuan utama kita diciptakan oleh Allah, yaitu hidup bersama dengan-Nya di dalam Kerajaan Surga. Hal-hal duniawi jangan diterapkan dalam kehidupan surgawi!