Perlunya Pertobatan

Sabtu, 26 Oktober 2019 – Hari Biasa Pekan XXIX

121

Lukas 13:1-9

Pada waktu itu datanglah kepada Yesus beberapa orang membawa kabar tentang orang-orang Galilea, yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan. Yesus menjawab mereka: “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya daripada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian. Atau sangkamu kedelapan belas orang, yang mati ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya daripada kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.”

Lalu Yesus mengatakan perumpamaan ini: “Seorang mempunyai pohon ara yang tumbuh di kebun anggurnya, dan ia datang untuk mencari buah pada pohon itu, tetapi ia tidak menemukannya. Lalu ia berkata kepada pengurus kebun anggur itu: Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma! Jawab orang itu: Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!”

***

Dalam novel yang berjudul The Promise, Chaim Potok, sang penulis novel, bercerita tentang seorang anak yang menjadi sakit mental karena tidak mampu mengendalikan kemarahannya terhadap sang ayah. Anak tersebut bernama Michael Gordon. Ia sangat mencintai dan mengagumi ayahnya, sampai-sampai tidak kuasa menghadapi kenyataan bahwa kerap kali ia merasa benci dan marah kepada ayahnya itu. Di satu sisi, ia menyadari bahwa relasi mereka berdua begitu dekat. Di sisi lain, ia sering marah terhadap ayahnya. Meskipun demikian, sang ayah dengan sabar membimbing Michael, sehingga relasi mereka tidak lagi sebatas perasaan (rasa marah, benci, senang, dan sebagainya), melainkan ikatan antara ayah dan anak yang lebih mendalam (saling mengampuni, saling menguatkan, dan saling memberi dorongan).

Relasi yang dekat dengan seseorang – entah ayah, ibu, sahabat, bahkan dengan Allah – akan memberi pengaruh pada perbuatan kita. Kita yang telah dibaptis menjadi dekat dengan Allah. Kita menjalin relasi dengan-Nya. Karena kedekatan tersebut, kita kadang merasa wajar kalau mengeluh, “Tuhan apa dosa saya sehingga saya menderita? Mengapa penderitaan ini begitu berat? Mengapa harus saya yang mengalami kesulitan ini?”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggambarkan pandangan dan pemikiran banyak orang. Hal itu dapat kita rasakan dalam bacaan Injil hari ini. Mendengar berita kematian sejumlah orang karena dibunuh Pilatus dan karena tertimpa menara, tampaknya banyak yang berpendapat bahwa musibah itu terjadi sebagai akibat dari dosa para korban. Penderitaan memang sering dihubungkan dengan dosa atau kejahatan. Namun, Yesus di sini justru mencegah kita agar tidak berpikiran seperti itu. Utamakanlah relasi dengan Allah. Kita binasa terutama kalau kita berjalan meninggalkan Allah dan tidak mau bertobat. Kebinasaan adalah dampak dari keterpisahan kita dengan Allah.

Yesus menegaskan bahwa kita perlu bertobat supaya tidak binasa. Kesempatan untuk bertobat senantiasa diberikan oleh Allah kepada kita, seperti pohon ara yang tidak ditebang meskipun tidak berbuah. Pohon itu diberi kesempatan terlebih dahulu untuk berbuah pada tahun berikutnya. Kita pun diberi kesempatan untuk memperbaiki hidup. Oleh sebab itu, kita harus memiliki kesadaran untuk bertobat. Allah mengharapkan manusia menghasilkan buah-buah pertobatan, yaitu melakukan hal-hal yang baik dalam kehidupan.