Orang Kaya dan Lazarus yang Miskin

Minggu, 29 September 2019 – Hari Minggu Biasa XXVI

774

Lukas 16:19-31

“Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya. Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya. Lalu ia berseru, katanya: Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini. Tetapi Abraham berkata: Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita. Selain dari itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang. Kata orang itu: Kalau demikian, aku minta kepadamu, bapa, supaya engkau menyuruh dia ke rumah ayahku, sebab masih ada lima orang saudaraku, supaya ia memperingati mereka dengan sungguh-sungguh, agar mereka jangan masuk kelak ke dalam tempat penderitaan ini. Tetapi kata Abraham: Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu. Jawab orang itu: Tidak, Bapa Abraham, tetapi jika ada seorang yang datang dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat. Kata Abraham kepadanya: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati.”

***

Satu lagi cerita terkenal dari Lukas. Bacaan Injil hari Minggu ini berkisah tentang seorang kaya versus seorang miskin, di dunia kini dan dunia nanti. Pelukisannya amat gamblang. Si kaya berpakaian halus dan berjubah ungu; si miskin berbalutkan borok dan bau. Si kaya berpesta pora dengan sesama hartawan; si miskin bersama anjing-anjing yang berpesta dengan luka-lukanya. Si kaya berada dalam rumahnya dalam keadaan terbekati; si miskin tergeletak di pintu gerbang dalam keadaan najis dan terkutuk.

Keduanya terpaku pada tempatnya masing-masing. Tidak satu pun ada kata tegur sapa, apalagi uluran tangan, padahal pintu gerbang memberi peluang dan kesempatan. Akan tetapi, sejak awal, cerita ini sudah punya kejutan: si miskin diberi nama, si kaya tidak. Meskipun tidak punya apa-apa, si miskin ternyata punya nama, yakni Lazarus. Lazarus artinya “Allah menolong.” Nama ini menjadi isyarat akhir yang membahagiakan baginya. Sebaliknya, meskipun punya segalanya, si kaya tidak punya nama. Itu pertanda nasib akhir orang ini yang hampa. Setetes air pun bahkan tidak akan ia punya!

Saat meninggal, tempat keduanya ditentukan oleh pihak lain. Lazarus mati dan diangkat oleh para malaikat, sementara si kaya juga mati dan dikuburkan orang. Lazarus naik ke pangkuan Abraham, si kaya turun ke dalam kuburan. Sekarang, jurang antara keduanya sudah amat lebar dan tidak lagi dapat dijembatani. Nasib akhir keduanya sudah definitif: Lazarus menjadi tamu terhormat dalam perjamuan abadi, sedangkan si kaya menderita di alam maut. Baru sekarang mata si kaya terbuka dan melihat Lazarus. Selagi hidup, matanya tertutup untuk membantu. Setelah mati, matanya terbuka untuk memohon pertolongan. Akan tetapi, tetap saja ia tidak menyapa Lazarus. Ia hanya menyapa Abraham. Baginya, Lazarus tetap saja tidak penting. Sikap orang kaya ini ternyata tidak berubah!

Jawaban Abraham menegaskan dua hal. Pertama, peluang dan kesempatan untuk membantu sesama hanya terjadi di dunia ketika kita hidup. Dunia menyediakan kesempatan bagi kita untuk membuka pintu hati kepada sesama yang miskin, untuk membuka gerbang rumah kepada mereka yang menderita. Lalai membuka pintu dan menjembatani jarak di dunia pasti akan melebarkan jarak kita dengan perjamuan abadi. Jarak itu tidak akan terjembatani!

Kedua, untuk bersikap adil dan menjembatani jurang antara kaya dan miskin di dunia ini tidak memerlukan mukjizat. Warta dan pesan dari seorang yang bangkit dari kematian juga tidak diperlukan. Yang diperlukan hanyalah kepekaan dan mata yang terbuka untuk melihat. Keluarlah dari zona nyaman dan egoisme kita. Kepekaan itu harus terus diasah dengan berpedoman pada seruan-seruan keadilan dalam Kitab Suci seperti yang diwariskan oleh Musa, para nabi, dan Yesus sendiri.