Matius 23:23-26
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan.
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan. Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih.”
***
Hari ini kita memperingati Peringatan Wajib Santa Monika. Kita tahu bahwa Santa Monika adalah ibu Santo Agustinus. Ia dahulu merasa prihatin dengan cara hidup putranya itu, sebab begitu jauh dari iman kristiani yang mereka yakini. Namun, sang ibu tidak bisa berbuat banyak untuk membina putranya. Yang bisa ia lakukan hanyalah berpasrah dan tekun mendoakan sang putra agar bertobat. Ketekunan itu membuahkan hasil. Agustinus pada akhirnya bertobat, bahkan menjadi tokoh besar dalam Gereja.
Kisah Santa Monika memberikan inspirasi kepada kita bahwa doa dan kasih dapat mengubah seseorang. Perubahan itu terjadi karena rahmat kasih Allah yang dianugerahkan kepada Agustinus, sebagaimana yang dimohonkan oleh sang ibu. Santa Monika dengan ini memberikan penerangan kepada kita untuk berani jujur dan tulus di hadapan Tuhan.
Hal itu kiranya sejalan dengan apa yang diungkapkan Yesus dalam bacaan Injil hari ini. Bacaan Injil hari ini masih berbicara tentang kecaman Yesus terhadap kemunafikan orang-orang Farisi. Kemunafikan dan kepura-puraan itu tampil dalam berbagai cara, antara lain dalam bentuk sikap yang saleh dan baik dengan tujuan agar dilihat oleh orang banyak.
Banyak orang memberi derma kepada Gereja dengan tujuan agar nama mereka termasyhur, agar dikenal oleh orang lain sebagai orang yang murah hati dan dermawan. Berderma adalah tindakan yang sangat baik, tetapi akan sia-sia kalau motivasinya seperti itu. Memberi derma hendaknya didasari oleh ketulusan dan kejujuran. Itulah yang akan mempertemukan kita dengan Allah. Sebagai ukuran untuk tulus atau tidaknya, mari kita lihat: apakah ketika memberikan persembahan, kita masih mengharapkan balasan, mengharapkan pula ucapan terima kasih? Jika jawabannya “ya,” itu berarti kita belum bersikap tulus, dan masih mengharapkan balasan.
Kita dipanggil untuk menjadi teladan yang baik, untuk bersikap jujur, baik dalam perkataan, maupun dalam perbuatan. Itulah kiranya persembahan hidup kita yang bernilai tinggi di hadapan Allah. Mampukah kita mengusahakan hal itu di mana pun kita berada?