Menjadi Murid yang Dewasa

Minggu, 30 Juni 2019 – Hari Minggu Biasa XIII

272

Lukas 9:51-62

Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke surga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem, dan Ia mengirim beberapa utusan mendahului Dia. Mereka itu pergi, lalu masuk ke suatu desa orang Samaria untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi-Nya. Tetapi orang-orang Samaria itu tidak mau menerima Dia, karena perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Ketika dua murid-Nya, yaitu Yakobus dan Yohanes, melihat hal itu, mereka berkata: “Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?” Akan tetapi Ia berpaling dan menegor mereka. Lalu mereka pergi ke desa yang lain.

Ketika Yesus dan murid-murid-Nya melanjutkan perjalanan mereka, berkatalah seorang di tengah jalan kepada Yesus: “Aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi.” Yesus berkata kepadanya: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” Lalu Ia berkata kepada seorang lain: “Ikutlah Aku!” Tetapi orang itu berkata: “Izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku.” Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana.”

Dan seorang lain lagi berkata: “Aku akan mengikut Engkau, Tuhan, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku.” Tetapi Yesus berkata: “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.”

***

Kisah di dalam Injil hari ini mengingatkan saya akan pengalaman mendampingi sebuah retret di Civita Youth Camp. Saat itu, ada seorang pemuda yang begitu jujur kepada saya. Ia berkata bahwa dirinya adalah anak yang membenci ayah ibunya. Penyebabnya, orang tuanya itu selalu menyalahkan dan memukulinya. Untuk menekan pengalaman pahit itu, ia menggunakan narkoba.

Namun, meskipun diperlakukan dengan buruk oleh orang tua, ia masih bisa melihat sisi positif dan bersyukur atas pengalaman berat itu. Ia mengatakan kepada saya bahwa setelah retret ini, ia akan mengubah diri dan akan berusaha mencintai orang tuanya dengan sepenuh hati. Ia berkata, “Orang tua saya memang tidak sempurna dan saya pun tidak sempurna. Akan tetapi cinta Tuhan yang sudah saya alami ini terasa cukup untuk bisa menyempurnakan yang tidak sempurna.”

Kisah itu bergema ketika saya merenungkan perikop Injil Lukas hari ini. Ada beberapa orang yang awalnya ingin mengikut Yesus, tetapi mereka selalu saja menoleh ke belakang dan akhirnya tidak jadi meneruskan niat tersebut. Mereka tampaknya dilanda kebingungan berhadapan dengan pilihan-pilihan hidup, sehingga tidak bisa membedakan mana yang fundamental dan mana yang hanya menjadi pelengkap. Semua seakan-akan sama penting, sehingga mereka tidak mampu membuat skala prioritas.

Sikap pemuda yang saya temani di dalam retret tadi berkebalikan dengan sikap orang-orang itu. Pemuda ini adalah pribadi yang sebenarnya dikehendaki oleh Yesus. Ia sungguh memiliki komitmen. Pengalaman akan kasih Allah membuatnya merasa cukup untuk bisa mencintai orang tuanya.

Kedewasaan menjadi murid Yesus adalah saat di mana kita menerima Dia sepenuh hati dan membiarkan Dia melengkapi segala kelemahan kita. Kedewasaan inilah yang membuat kita bisa keluar dari zona nyaman kelemahan kita dan kembali berkomitmen mencintai Allah.

Mari kita bertanya pada diri kita masing-masing: Apakah kita sudah cukup dewasa menjadi murid Yesus? Apakah kedewasaan itu tercermin dalam tindakan-tindakan yang kita ambil?