Pekerjaan Baik

Jumat, 12 April 2019 – Hari Biasa Pekan V Prapaskah

260

Yohanes 10:31-42

Sekali lagi orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus. Kata Yesus kepada mereka: “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari Aku?” Jawab orang-orang Yahudi itu: “Bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan Allah.” Kata Yesus kepada mereka: “Tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat kamu: Aku telah berfirman: Kamu adalah allah? Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut allah — sedang Kitab Suci tidak dapat dibatalkan –, masihkah kamu berkata kepada Dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia: Engkau menghujat Allah! Karena Aku telah berkata: Aku Anak Allah? Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya kepada-Ku, tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa.”

Sekali lagi mereka mencoba menangkap Dia, tetapi Ia luput dari tangan mereka.

Kemudian Yesus pergi lagi ke seberang Yordan, ke tempat Yohanes membaptis dahulu, lalu Ia tinggal di situ. Dan banyak orang datang kepada-Nya dan berkata: “Yohanes memang tidak membuat satu tanda pun, tetapi semua yang pernah dikatakan Yohanes tentang orang ini adalah benar.” Dan banyak orang di situ percaya kepada-Nya.

***

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus menyebut mukjizat-mukjizat yang dilakukan-Nya sebagai “pekerjaan.” Bukan sekadar pekerjaan, yang Ia lakukan adalah pekerjaan baik, pekerjaan yang mengurangi penderitaan manusia. Pekerjaan-pekerjaan baik itu berasal dari Allah yang adalah Bapa-Nya dan Dia adalah Anak-Nya. Karena klaim ini, para pemimpin agama saat itu sangat kesal kepada Yesus. Mereka ingin membunuh-Nya karena mengaku sebagai Anak Allah. Ini mereka anggap sebagai penghujatan.

Ada dua klaim Yesus yang membuat marah orang Yahudi, yakni bahwa Ia diangkat oleh Bapa untuk tugas khusus, dan bahwa Ia dikirim ke dunia untuk melaksanakan misi Bapa-Nya. Dengan mengatakan “pekerjaan baik,” Yesus menantang lawan-lawan-Nya yang tidak dapat menerima perkataan-perkataan-Nya untuk melihat dan menerima pekerjaan-Nya. Perkataan bisa didebat, tetapi bagaimana mungkin orang mendebat pekerjaan yang baik?

Pekerjaan-pekerjaan baik yang dilakukan Yesus menjadi bukti otentik akan kebenaran perkataan-perkataan-Nya. Dalam Yesus, kita menemukan kebenaran ini, yakni bahwa “tindakan atau perbuatan berbicara jauh lebih keras daripada kata-kata.” Dengan demikian, Yesus juga benar-benar seorang Guru yang sempurna bagi kita semua karena klaim-Nya tidak hanya didasarkan pada apa yang Ia katakan, tetapi juga pada apa yang Ia lakukan.

Orang Yahudi menuduh Yesus melakukan penistaan. Mereka tidak peduli dengan kebenaran yang diwartakan oleh-Nya dan yang juga ditunjukkan dalam pekerjaan-pekerjaan baik-Nya. Mereka merasa bahwa merekalah yang paling benar, bahwa merekalah penjaga kesucian Allah. Kiranya ini menjadi kecenderungan umum masyarakat. Sering kali kita menuduh orang lain melakukan dosa yang kita sendiri melakukannya.

Setelah kejatuhan Adam dan Hawa, manusia cenderung menempatkan hidupnya sebagai pusat alam semesta. Akibatnya, ia menganggap dirinya seperti Tuhan. Apa yang terjadi sekarang adalah bahwa dunia tidak lagi berputar di sekitar Tuhan, tetapi berputar di sekitar kita masing-masing. Konsekuensinya, terjadilah perselisihan, perang, dan perpecahan yang mengganggu masyarakat dan sejarah manusia. Kita memiliki kecenderungan untuk menyediakan dupa, altar, dan persembahan yang ternyata dipersembahkan kepada diri kita masing-masing.

Dengan mengakui pekerjaan-pekerjaan baik Yesus, kita kembali mengakui bahwa Ia yang sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Kita mengakui penegasan Yesus bahwa “Bapa di dalam Aku, dan Aku di dalam Bapa.” Dengan demikian, kita menempatkan kembali Allah sebagai pusat hidup kita.