Tiada Kata Terlambat untuk Percaya

Selasa, 19 Februari 2019 – Hari Biasa Pekan VI

156

Markus 8:14-21

Kemudian ternyata murid-murid Yesus lupa membawa roti, hanya sebuah saja yang ada pada mereka dalam perahu. Lalu Yesus memperingatkan mereka, kata-Nya: “Berjaga-jagalah dan awaslah terhadap ragi orang Farisi dan ragi Herodes.” Maka mereka berpikir-pikir dan seorang berkata kepada yang lain: “Itu dikatakan-Nya karena kita tidak mempunyai roti.” Dan ketika Yesus mengetahui apa yang mereka perbincangkan, Ia berkata: “Mengapa kamu memperbincangkan soal tidak ada roti? Belum jugakah kamu faham dan mengerti? Telah degilkah hatimu? Kamu mempunyai mata, tidakkah kamu melihat dan kamu mempunyai telinga, tidakkah kamu mendengar? Tidakkah kamu ingat lagi, pada waktu Aku memecah-mecahkan lima roti untuk lima ribu orang itu, berapa bakul penuh potongan-potongan roti kamu kumpulkan?” Jawab mereka: “Dua belas bakul.” “Dan pada waktu tujuh roti untuk empat ribu orang itu, berapa bakul penuh potongan-potongan roti kamu kumpulkan?” Jawab mereka: “Tujuh bakul.” Lalu kata-Nya kepada mereka: “Masihkah kamu belum mengerti?”

***

Kebutuhan manusia yang paling mendasar disebut kebutuhan primer. Yang termasuk sebagai kebutuhan primer adalah makanan, tempat tinggal, dan pakaian. Kebutuhan yang lain, seperti pendidikan dan rekreasi, disebut kebutuhan sekunder. Memahami hal itu, kita semua sebagai manusia diajak untuk belajar bijaksana dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup kita. Yang primer jangan dijadikan sekunder, dan sebaliknya, yang sekunder jangan dianggap primer.

Jika kebutuhan primer tercukupi, setidaknya syarat bagi seseorang untuk dapat bertahan hidup sudah terpenuhi. Bayangkan diri kita tidak mempunyai makanan. Tentunya kita menjadi gelisah, lemah, dan tidak berdaya. Tanpa makanan, kita tidak tahu apakah esok hari kita masih bisa bertahan hidup atau tidak. Itu sebabnya, orang bertekun dan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer mereka.

Namun, sebagai umat beriman, ada satu lagi kebutuhan primer kita, yakni percaya kepada Yesus, Putra Allah, yang hadir untuk membawa keselamatan bagi manusia. Kebutuhan primer ini harus terpenuhi, sebab tanpa itu hidup kita akan penuh dengan kegelisahan dan tanpa arah. Beriman kepada Yesus mendorong kita untuk berdoa tanpa henti kepada-Nya. Seluruh harapan kita dipasrahkan kepada-Nya. Percaya kepada Yesus membuat kita bersaudara dengan siapa pun tanpa pemikiran negatif. Percaya kepada Yesus membuat kita tergerak untuk menolong sesama dengan sukacita dan tulus. Percaya kepada Yesus menjadikan kita berpikiran positif, sebab hidup kita dikuasai oleh kasih-Nya.

Salah satu tantangan untuk percaya adalah pikiran kita yang lamban untuk mengerti dan memahami kehendak Allah. Lama-kelamaan, situasi ini dapat semakin menjauhkan kita dari Allah. Kalau percaya saja sulit, apalagi mendengarkan suara Tuhan dan bertobat! Meskipun demikian, Allah tetap menawarkan keselamatan-Nya kepada kita. Keterbukaan hati menjadi syarat agar kita dapat merasakan perlindungan, penyertaan, dan penyelamatan-Nya.

Nabi Nuh bersama keluarganya menjadi contoh pribadi yang terbuka dan percaya kepada Allah (bacaan pertama hari ini, Kej. 6:5-8, 7:1-5, 10). Meski tidak menangkap sepenuhnya apa yang dikehendaki Allah, ia tetap percaya dengan perkataan-Nya. Karena percaya, ia melakukan seperti yang disabdakan-Nya.

Saudara-saudari sekalian, tiada kata terlambat untuk terbuka, untuk percaya kepada Allah, dan untuk melakukan kehendak-Nya dengan penuh sukacita. Mari mengembangkan sikap percaya, dan nikmatilah keselamatan yang datang dari-Nya!