Menerima Usia Lanjut pada Zaman Alkitab dan Sekarang (9)

288

Orang Israel menggumuli hari tuanya dalam batasan dunia ini tanpa adanya harapan akan kebangkitan. Berbeda dengan mereka dan banyak orang sekarang, seorang kristiani diberi perspektif hidup melampaui kematian, hidup kekal bersama Allah. Perspektif itu tinggal tetap sebagai teori yang tidak banyak membantu bila tidak tertanam secara mendalam di dalam hati manusia dan ada akarnya dalam pengalaman hidup yang nyata. Suatu contoh adalah Paulus dalam kesaksiannya di 2Kor. 4. Paulus memahami kesusahannya sebagai jalan untuk dapat menyebarkan Injil dengan cara yang lebih baik.

Harta, yakni Injil yang dilayaninya, dibawa Paulus dalam bejana tanah liat, yakni dalam kerapuhan sebagai manusia. Baiklah demikian, sebab dengan begitu menjadi jelas bahwa kekuatan yang juga dialaminya, bukan berasal dari dirinya melainkan dari Allah (ay. 7). Ketika ia didesak, habis akal, disiksa, dan dihempaskan, Paulus semestinya binasa, tetapi ia ternyata tidak terjepit, tidak putus asa, tidak ditinggalkan sendirian, dan tidak binasa (ay. 8-9). Di situlah kekuatan Allah nyata baginya.

Dalam ay. 10-11, Paulus memahami kelemahan dan kekuatan itu dalam kaitan dengan kematian dan kebangkitan Yesus: “Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami. Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini.” Penderitaannya sebagai rasul merupakan partisipasi dalam kematian Yesus, agar juga hidup kebangkitan Yesus dapat menjadi tampak dalam tubuhnya yang tetap hidup. Dalam pengalaman itu, Paulus pun menemukan sisi misioner: “Demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu” (ay. 12). Kematian dan kebangkitan Yesus yang menjadi tampak dalam pelayanan Paulus memberi kehidupan kepada umat yang ia layani di Korintus. Dalam pengalaman itu diperkuat harapan akan kebangkitan nanti: “Ia, yang telah membangkitkan Tuhan Yesus, akan membangkitkan kami juga bersama-sama dengan Yesus” (ay. 13-14; Lambrecht 1990, 50-55).

Pengalaman akan kelemahan dan penguatan di hari tua pun dapat dihayati sebagai partisipasi dalam wafat dan kebangkitan Kristus. Penghayatan itu dapat mempunyai makna kesaksian dalam keluarga dan masyarakat. Dengan penghayatan yang demikian, orang lebih kuat untuk menahan penderitaannya secara fisik dan mental. Di dalam ketahanan itu, ia dapat mengalami kekuatan Allah dan tanda-tanda Kristus yang hidup.

Kesusahan hari tua tidak perlu mengurangi tetapi dapat menambah kesempatan untuk memberitakan Injil secara nyata (Flp. 1:13-4); dan juga meneguhkan harapan akan kebangkitan. Paulus merangkumnya dengan bagus dalam surat kepada jemaat Filipi: “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati” (Flp. 3:10-11). Semoga saya dan banyak orang lansia lain juga dikuatkan oleh kerinduan dan harapan yang serupa dengan Paulus.***

Kepustakaan:

Beauvoir, Simone de, 1985, Old Age, Penguin.

Burt, D.X., 1992, But when you are older…: Reflections on Coming to Age, Collegeville: Liturgical Press.

Butler M., and A. Orbach, 1993, Being Your Age: Pastoral Care for Older People, London: SPCK.

Dulin, Rachel Z., 1988, A Crown of Glory: A Biblical View of Aging, New York: Paulist.

Grainger, Roger, 1993, Change to Life: Pastoral Care of the Newly Retired, London: DLT

Gunanto, M. Emmanuel, 2012, Sukacita di Hari Tua: Kenangan HUT ke-75, Bandung: AMBC.

Lambrecht, Jan, 1990, “Paul and Suffering,” in God and Human Suffering, ed. Jan Lambrecht, Louvain: Peeters, pp. 47-66.

Nouwen, H.J.M., and Walter J.Gaffney, 1976, Aging: The Fulfillment of Life, New York: Doubleday.

O’Neal, Ted, 2004, Terapi Pensiun yang Bahagia, Jakarta: Obor.