Hikmat dan pengalaman rohani
Menjadi tua bukan cuma kenyataan psikologis dan sosiologis. Untuk bisa berhubungan baik dengan masyarakat, keluarga, dan dirinya, sangat pentinglah pengalaman dan refleksi kaum lansia sendiri, yakni pengalaman rohani dan hikmat (Dulin 70-77).
Ada godaan untuk mengaitkan hikmat dengan usia lanjut karena pengalaman yang banyak. Akan tetapi, pandangan Alkitab dalam hal ini justru sangat mendua. Ada kalanya hikmat yang diperoleh orang bergandengan dengan hidup yang lama, lain kali usia dan hikmat sama sekali tidak berkaitan.
Hikmat adalah pemberian Allah (Yes. 11:2; Pkh. 2:26) yang diberi kepada orang benar (Mzm. 37:30) dan yang ada kalanya justru tidak ditemukan pada orang yang sudah tua, yang “tidak dapat membedakan yang baik dari yang salah” (2Sam. 19:36). Hikmat pun biasanya diajarkan kepada kaum muda (Ams. 2:1-7; 23:15-16). Khususnya dalam kitab Ayub, hikmat tidak ditemukan pada orang yang lanjut umurnya (Ayb. 32:9; 12:13), meskipun Elifas berpretensi demikian (Ayb. 15:7-10). “Lebih baik seorang muda miskin tetapi berhikmat daripada seorang raja tua tetapi bodoh,” kata Pengkhotbah (Pkh. 4:13). Ilustrasinya misalnya hikmat Yusuf yang muda dan miskin dalam penjara di Mesir (Kej. 40:39-34) dan kebodohan Raja Salomo yang sudah tua (1Raj. 11:4).
Bahwa relasi negatif antara hikmat dan umur ini ditekankan Alkitab tentu menunjukkan bahwa relasi positif – korelasi hikmat dan umur – juga ditemukan. Ini terutama tampak dari institusi kaum tua-tua yang sejak masa Israel kuno sampai masa sesudah pembuangan menjadi bagian penting sistem pengadilan dalam marga dan bangsa berkat pengalaman mereka. Mereka berhikmat tidak karena umur, melainkan karena dianugerahi Tuhan. Hal itu perlu disadari setiap orang lansia agar tidak ngotot bahwa setiap pandangannya dari dulu lebih bijaksana. Hendaknya orang lansia tetap terbuka bagi hikmat baru yang dapat diberikan Tuhan melalui siapa pun. Hanya dengan sikap itu, ia dapat menyumbangkan hikmatnya kepada keluarga dan bangsa.
Contoh pengalaman rohani mendalam di masa hidup yang merana dan hampir padam adalah pergumulan Ayub. Di tengah penderitaan fisik, psikis, dan sosial serta tuduhan teman-teman lama bahwa ia pendosa berat, Ayub melepaskan diri dari pemikiran lama tentang ganjaran Tuhan. Ia menemukan suatu sikap iman yang baru terhadap Allah dan penyelenggaraan-Nya yang melampaui pemahaman manusia tetapi dapat dipercaya. Melalui frustrasi dan kemarahan, Ayub menemukan suatu iman yang diperbarui dan diperkuat.
Amsal, Pengkhotbah, dan Mazmur pun di satu pihak memperlihatkan bahwa proses menjadi tua sering tidak datang dan dialami dengan indah, tetapi kenyataan itu juga dapat mendorong untuk mengangkat roh dan membantu menemukan relasi baru dengan Allah. Tidak dapat disangkal bahwa usia lanjut membawa keterbatasan, tetapi ia membawa juga dimensi baru, suatu waktu untuk merenung dan melihat dunia dengan mata baru dan menghargai karya Allah secara baru (Dulin, 99-101). Juga ketika dukungan untuk hari tua tidak datang dari luar, dari masyarakat, kekuatan baru dapat ditemukan dari dalam diri sendiri, dari dalam hati manusia yang percaya kepada Allah.
(Bersambung)