Ciri-ciri psikologis usia lanjut
Usia lanjut juga membawa serta implikasi psikologis (Butler 1983, 15-28). Cerita-cerita biblis dapat membantu kita untuk menemukan dan menerimanya juga sekarang (Dulin 1988, 36-53). Ketika Daud menawarkan kepada Barzilai, pendukungnya, untuk ikut ke Yerusalem, ia menjawab, “Berapa tahun lagikah aku hidup, sehingga aku harus pergi bersama-sama dengan raja ke Yerusalem? Sekarang ini aku telah berumur delapan puluh tahun; masakan aku masih dapat membedakan antara yang baik dan yang tidak baik? Atau masih dapatkah hambamu ini merasai apa yang hamba makan atau apa yang hamba minum? Atau masih dapatkah aku mendengarkan suara penyanyi laki-laki dan penyanyi perempuan? Apa gunanya hambamu ini lagi menjadi beban bagi tuanku raja?” (2Sam. 19:34-35). Jawaban Barzilai bukan hanya tentang kemunduran fisik, tetapi juga berkurangnya ketajaman mental, membedakan baik dan buruk, mengapresiasi seni masak dan seni suara. Selain itu, ada ketakutan bahwa ia menjadi beban bagi orang lain dan kehilangan independensinya.
Ketajaman mental sangat menentukan agar seseorang dapat menganalisis situasi, mengambil keputusan cepat, dan menjalankannya secara efektif. Bila ketajaman itu menurun di hari tua, keputusan dan kontrol atas situasi melemah pula. Contohnya Ishak yang sudah tua. Tidak hanya buta fisik, ia pun buta secara psikologis. Ribka melihat bahwa keputusan Ishak untuk meneruskan berkat kepada Esau, anak favoritnya, merupakan penilaian dan keputusan yang buruk karena tidak membaca tanda-tanda yang telah diberi Tuhan. Karena itu, Ribka menggunakan kebutaan fisik Ishak untuk mengoreksi kebutaan mental suaminya itu (Kej. 27). Berkurangnya ketajaman mental menyebabkan pula Eli dan Samuel kehilangan kontrol atas anak-anak mereka yang menjadi keluhan rakyat. Hal ini tidak dapat dikoreksi oleh Eli (1Sam. 2:24), juga oleh Samuel yang terpaksa melantik raja pertama Israel melawan kehendaknya sendiri (1Sam. 8:5; 10:1-9, 21).
Contoh klasik hilangnya kepekaan batin dan ketajaman rohani di hari tua adalah Raja Daud. Ketika masih kuat, Daud sangat mampu untuk mengatasi intrik-intrik dan tindak kekerasan Amnon dan Absalom dalam kerajaannya (2Sam. 12:28-29; 18:6-18). Namun, ketika sudah tua, Daud kehilangan kontrol atas istananya. Didukung Jenderal Yoab, anak Daud yang bernama Adonia menyatakan diri sebagai raja (1Raj. 1:5-7). Natan dan kelompoknya memakai Batsyeba untuk meluluhkan hati Daud demi pengangkatan calon raja mereka, Salomo (1Raj. 1:11-31). Dalam seluruh adegan yang menentukan masa depan Israel, Daud yang lemah dan ragu-ragu tidak lebih daripada suatu boneka di tangan orang lain.
Ketidakmampuan untuk berpikir tajam dan mengontrol warisan terulang di masa tua Salomo. Setelah mulai sebagai raja yang paling bijaksana (1Raj. 3), Salomo mengakhiri hidupnya sebagai orang bodoh, tua-tua keladi, makin tua makin jadi. “Pada waktu Salomo sudah tua, istri-istrinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada Tuhan, Allahnya, seperti Daud, ayahnya. Demikianlah Salomo mengikuti Asytoret, dewi orang Sidon, dan mengikuti Milkom, dewa kejijikan sembahan orang Amon” (1Raj. 11:4-5). Sebagai raja muda, Salomo dengan bijak memilih istri-istrinya untuk membangun relasi dengan negara-negara tetangga (1Raj. 3:1). Namun, di hari tuanya, ia dikuasai oleh mereka dan kerajaannya pecah. Itulah risiko besar kebudayaan feodal, di mana yang berkuasa tidak pada waktunya memberi tempat kepada yang lebih muda, sehingga sering kali berakhir dalam disgrace.
(Bersambung)