Matius 10:17-22
“Tetapi waspadalah terhadap semua orang; karena ada yang akan menyerahkan kamu kepada majelis agama dan mereka akan menyesah kamu di rumah ibadatnya. Dan karena Aku, kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja sebagai suatu kesaksian bagi mereka dan bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah. Apabila mereka menyerahkan kamu, janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan, karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga. Karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Bapamu; Dia yang akan berkata-kata di dalam kamu.
Orang akan menyerahkan saudaranya untuk dibunuh, demikian juga seorang ayah akan anaknya. Dan anak-anak akan memberontak terhadap orang tuanya dan akan membunuh mereka. Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.”
***
Setelah merayakan Natal, hari ini kepada kita disajikan kisah kemartiran pertama, yaitu kemartiran Santo Stefanus (bacaan pertama, Kis. 6:8-10; 7:54-59). Terkadang saya bertanya dalam hati, “Mengapa kisah kemartiran segera disuguhkan kepada kita, padahal baru kemarin kita bersukacita atas kelahiran Yesus?” Lebih-lebih, dalam bacaan Injil, hari ini kita mendengarkan ajakan untuk “waspada dan setia.” Yesus memperingatkan kita, “Kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.” Apa yang bisa kita refleksikan dari bacaan-bacaan hari ini?
Kemarin, kita merefleksikan bahwa Natal pada hakikatnya adalah momen untuk “pulang.” Dengan Natal, kita diajak untuk kembali ke akar diri kita. Di situlah Allah datang di dalam rupa kemanusiaan-Nya. Ia bergulat seperti manusia, dan dengan itu mau berpartisipasi serta seperasaan dengan kita. Kita diharapkan mampu menimba energi dasar berupa “kehangatan” bersama Allah yang berinkarnasi.
Bacaan-bacaan hari ini pun hanya bisa dipahami dalam bingkai perjalanan iman. Setelah menimba momen Natal yang indah, kita diingatkan bahwa panggilan hidup sebagai seorang murid Yesus tidak berhenti di situ saja. Kita diajak masuk kepada momen yang paling utama, yaitu momen kesetiaan bersama-Nya. Momen kesetiaan ini akan kita dalami lebih jauh pada masa Paskah. Namun, hari ini kita sudah mulai mencicipi hal itu.
Seorang ibu di paroki tempat saya bertugas berkisah kepada saya bahwa menjadi seorang ibu adalah panggilan untuk setia. Melahirkan anak adalah suatu kebahagiaan bagi seorang perempuan, sebab dengan itu ia merasa bahwa dirinya mampu “berbuah.” Namun, sesudah melahirkan, ia segera berhadapan dengan tantangan yang amat sangat besar. Tantangannya adalah mencintai dan mendidik sang anak tanpa kenal waktu, tanpa kenal lelah. Menengok momen kelahiran adalah salah satu peneguhan untuk terus bertahan dengan setia di dalam mencintai dan mendidik sang anak.
Saudara-saudari sekalian, hari ini marilah kita juga belajar untuk menjawab pertanyaan ini: beranikah kita untuk selalu setia?