Memaknai Kedatangan Tuhan melalui Adoni-Bezek (4)

Hakim-hakim 1:1-8

108

Pemahaman yang menekankan ketidaksetiaan Yehuda pada awal kitab Hakim-hakim tidaklah mengada-ada. Jika dibaca secara wajar, teks yang diperhadapkan kepada kita membuat kita bertanya: ada apa dengan kerja sama dua bersaudara, Yehuda dan Simeon, dalam terang perintah Allah agar Yehuda yang harus maju? Coba kita perhatikan pertanyaan bangsa Israel, “Siapakah dari pada kami yang harus lebih dahulu maju menghadapi orang Kanaan untuk berperang melawan mereka?” (Hak. 1:1).

Pertanyaan itu menekankan siapa yang pertama-tama harus maju berperang. Meskipun bisa dikaitkan dengan konteks persaudaraan atau kedekatan Yehuda dan Simeon, pertanyaan ini menyiratkan majunya salah satu suku sebagai pendahulu. Jawaban Tuhan jelas, “Suku Yehudalah yang harus maju; sesungguhnya telah Kuserahkan negeri itu ke dalam tangannya” (Hak. 1:2). Namun, sikap Yehuda sesudah itu tidak mencerminkan kesiapannya untuk mengikuti perintah Tuhan. Alih-alih bergerak untuk maju, Yehuda bersepakat dengan Simeon dengan berkata, “Majulah bersama-sama dengan aku” (Hak. 1:3).

Lillian Klein juga berangkat dari pengamatan sederhana ini, dan mencatat bahwa melalui ayat-ayat pembuka kitab Hakim-hakim tertangkap ironi yang memperlihatkan disparitas antara kehendak Allah dan hasrat Israel untuk menempuh jalan mereka sendiri.[1] Kemenangan Yehuda terhadap bangsa-bangsa di Kanaan bermula dari sebuah negosiasi dalam diri mereka. Yehuda menjalankan misinya dengan kompromi dan mengabaikan perkataan Tuhan.

Namun, pembacaan seperti itu tidak mendapat simpati dari beberapa penafsir. Mengomentari uraian Klein, Susan Niditch berpendapat bahwa jika memang demikian, Tuhan tidak mungkin mengizinkan kedua bersaudara itu mencapai keberhasilan sebagaimana tersurat pada bab pertama.[2] Menurut pengamatan lain, masuknya potongan kisah tentang ajakan Yehuda kepada Simeon dikaitkan dengan keterangan mengenai asal usul suku Simeon menetap di pegunungan di utara (Kej. 34:25, 30-31). Motif di balik permufakatan antara dua bersaudara ini adalah untuk menjelaskan lokasi suku Simeon yang di kemudian hari beralih ke selatan.[3]

Kitab Hakim-hakim dibuka dengan meniru bagaimana kitab Yosua dimulai, “Sesudah Musa hamba TUHAN itu mati…” (Yos. 1:1). Namun, nuansa yang terbangun tidak sama. Kali ini yang seketika muncul adalah situasi kekosongan kepemimpinan di antara bangsa Israel. Bangsa ini sedang kehilangan arah. Oleh sebab itu, narasi dimulai tegas dengan pertanyaan langsung dari bangsa Israel. Berbeda dari permulaan kitab Yosua yang diawali dengan perkataan Allah, kitab Hakim-hakim dimulai dengan pertanyaan bangsa yang kehilangan sosok pemimpin. Dalam Hak. 17:6, diterangkan bahwa pada zaman itu “tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” Diulang berkali-kali pada Hak. 18:1; 19:1; 21:25, keterangan ini jelas mencerminkan situasi anomis pada masa itu. Situasi demikian bisa disebut sebagai situasi kegelapan di mana terang seharusnya dinanti-nantikan.

(Bersambung)

[1] Lillian R. Klein, The Triumph of Irony in the Book of Judges (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1988), 23.

[2] Susan Niditch, Judges, Old Testament Library (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2011), 38.

[3] Robert G. Boling, Judges: A New Translation with Introduction and Commentary, Anchor Bible (New York: Doubleday, 1975), 54.