Tuhan, Mengapa Engkau Mengasihi Mereka? (5)

Universalitas Kasih Allah dalam Kitab Yunus

357

Bangsa-bangsa asing pun mengasihi Allah

Di lain pihak, orang-orang asing yang muncul dalam kitab Yunus menunjukkan bahwa mereka pantas mendapatkan kasih Allah. Mereka digambarkan sebagai pribadi-pribadi yang sadar akan karya Allah dalam kehidupan sehari-hari. Hati dan pikiran orang-orang itu terbuka bagi sapaan serta kehadiran-Nya. Manakala mereka salah jalan dan menyimpang dari kebenaran, teguran dari pihak Allah dengan segera menyadarkan mereka dan membuat mereka kembali kepada-Nya.

Contoh nyata pertama ditunjukkan oleh awak kapal yang ditumpangi Yunus saat berniat kabur ke Tarsis. Mereka ini orang-orang asing dari berbagai macam bangsa. Ketika kapal nyaris hancur dihantam badai besar, yang mereka lakukan adalah “masing-masing berteriak-teriak kepada allahnya” (Yun. 1:5).[1] Mendapati Yunus malah tidur nyenyak,[2] mereka membangunkannya dan mengimbau agar ia pun berdoa kepada Allahnya sendiri agar berkenan membebaskan mereka dari ancaman maut. Ketika Yunus meminta diceburkan saja ke dalam laut setelah mengakui bahwa dirinyalah yang membuat Allah murka, orang-orang asing itu membuktikan bahwa mereka memiliki perikemanusiaan yang tinggi. Alih-alih memenuhi permintaan Yunus, mereka bekerja keras berusaha membawa kapal itu ke daratan (Yun. 1:13), meskipun usaha itu kemudian gagal sehingga Yunus terpaksa mereka lempar ke lautan. Setelah badai reda, dengan sungguh-sungguh mereka memohon belas kasihan Allah dan mempersembahkan kurban kepada-Nya (Yun. 1:16).

Singkat kata, para awak kapal adalah justru orang-orang yang memiliki kerohanian yang mendalam. Tingkah laku mereka berkenan di hadapan Allah, padahal mereka ini kaum asing yang oleh orang Israel sering direndahkan dengan sebutan “najis” maupun “kafir.” Bertentangan dengan stigma yang sering mereka sandang, mereka ini adalah orang-orang yang berbelas kasihan, saleh, lurus hati, dan takut akan Allah (bdk. Ams. 1:7; Sir. 1:16). Mereka pun pada akhirnya mengakui bahwa Allah adalah penguasa alam semesta.

Contoh berikutnya ditampilkan oleh penduduk Niniwe. Setelah melalui pergulatan panjang, Yunus akhirnya sampai juga ke kota itu. Langsung saja ia menyampaikan nubuat yang keras, “Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan” (Yun. 3:4). Sungguh mengejutkan, Allah rupanya mengutus Yunus bukan untuk menegur ataupun mempertobatkan orang Niniwe. Keputusan Allah sudah bulat, mereka akan dihancurkan. Yunus diutus sekadar untuk memberitakan keputusan itu. Entah apa dosa yang mereka lakukan, yang jelas dosa itu pastinya amat sangat berat, sehingga Niniwe ditetapkan akan mengalami kehancuran sebagaimana Sodom dan Gomora (lih. Kej. 19:1-29).

Namun, reaksi orang Niniwe sungguh tidak terduga. Ancaman Yunus ditanggapi raja dan penduduk kota dengan besar hati. Mula-mula dikatakan bahwa mereka “percaya kepada Allah” (Yun. 3:5). Ini artinya, meskipun mereka bukan orang Israel dan YHWH bukan Allah mereka, teguran-Nya melalui Yunus mereka terima. Penduduk Niniwe menyesali kejahatan mereka dan langsung mengikrarkan pertobatan dengan puasa dan aksi mati raga lainnya (mengenakan kain kabung dan duduk di atas abu, Yun. 3:6). Yang paling penting, mereka bertekad untuk “berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang dilakukannya” (Yun. 3: 8). Uniknya, lembu sapi dan kambing domba juga ikut berpuasa sebagai gambaran bahwa pertobatan itu total, sungguh-sungguh, dan menyeluruh.[3]

Iman orang Niniwe kepada Allah patut mendapat perhatian. Mereka mengakui kuasa-Nya atas alam semesta dan atas hidup segenap manusia. Menyikapi keputusan Allah yang hendak menghancurkan mereka, orang Niniwe hanya bisa pasrah karena sadar bahwa mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, mereka kiranya tahu bahwa Allah itu maha pengasih. Karena itu, meskipun maut sudah berada di depan mata, mereka tetap tergerak untuk bertobat, sambil dengan rendah hati berharap, “Siapa tahu, mungkin Allah akan berbalik dan menyesal serta berpaling dari murka-Nya yang bernyala-nyala itu, sehingga kita tidak binasa” (Yun. 3:9). Harapan mereka ternyata tidak sia-sia. Allah menyesal atas malapetaka yang direncanakan-Nya dan berkenan membatalkannya.[4]

Selain awak kapal dan orang Niniwe, hewan dan tumbuhan yang muncul dalam kitab Yunus juga ditampilkan sebagai makhluk-makhluk ciptaan yang menghormati dan menaati kehendak sang Pencipta. Ikan besar menaati perintah Allah yang hendak menghukum sekaligus menyelamatkan Yunus.[5] Ikan itu menelan, “memelihara,” lalu memuntahkan Yunus ke daratan sesuai dengan perintah Allah (Yun. 1:17; 2:10). Lembu sapi dan kambing domba kepunyaan orang Niniwe, seperti sudah dikatakan di atas, turut berpartisipasi dalam “gerakan pertobatan bangsa” (Yun. 3:7). Mengikuti para pemilik mereka, hewan-hewan itu juga berpuasa, tidak makan, tidak minum, bahkan bisa jadi ikut-ikutan mengenakan kain kabung (Yun. 3:8). Ada juga pohon jarak yang menaati kehendak Allah untuk tumbuh secepat kilat dalam rangka memberikan keteduhan kepada Yunus (Yun. 4:6), dan ulat yang atas kehendak Allah pula membuat pohon jarak itu menjadi layu dalam waktu singkat.

Demikianlah dalam kitab Yunus segenap makhluk digambarkan dengan taat melayani kehendak sang Pencipta dan dengan rela membuka diri bagi kehadiran-Nya. Yang tidak mau bersikap begitu hanya satu orang saja, dan orang itu adalah Yunus.

(Bersambung)

[1] Ini menggambarkan keyakinan pada masa itu bahwa setiap bangsa memiliki allah sendiri-sendiri. Lih. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 42.

[2] Sikap Yunus jangan disamakan dengan sikap Yesus (Mat. 8:24). Yesus tidur di tengah badai untuk menunjukkan bahwa Ia lebih berkuasa daripada kuasa-kuasa kejahatan, sedangkan Yunus tidur karena tidak peduli. Yang diperhatikan Yunus hanyalah dirinya sendiri. Ia tidak peduli kepada badai dan kepada kapal beserta awaknya. Ia juga tidak peduli kepada Allah, sebab bermaksud melarikan diri dari-Nya.

[3] “Lembu sapi” merupakan istilah yang menunjuk pada hewan ternak berbadan besar, sedangkan “kambing domba” menunjuk pada yang berbadan kecil.

[4] Banyak orang terganggu dengan ungkapan “Allah menyesal.” Bagaimana mungkin Allah bisa menyesal? Bukankah Ia tidak mungkin melakukan kekeliruan? Ungkapan “Allah menyesal” hendaknya dimengerti sebagai gambaran manusiawi akan kerelaan Allah. Ia rela mengubah hukuman yang direncanakan-nya, terdorong oleh kasih-Nya kepada manusia. Bdk. Kej. 6:6-7; Kel. 32:14.

[5] Dengan ditelan ikan besar, Yunus di satu sisi dihukum Allah karena berniat melarikan diri dari-Nya. Di sisi lain, dengan itu Yunus diselamatkan oleh-Nya dari bahaya maut akibat tenggelam di tengah laut.