Belajar dari Dua Orang Buta

Jumat, 7 Desember 2018 – Peringatan Wajib Santo Ambrosius

3490

Matius 9:27-31

Ketika Yesus meneruskan perjalanan-Nya dari sana, dua orang buta mengikuti-Nya sambil berseru-seru dan berkata: “Kasihanilah kami, hai Anak Daud.” Setelah Yesus masuk ke dalam sebuah rumah, datanglah kedua orang buta itu kepada-Nya dan Yesus berkata kepada mereka: “Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?” Mereka menjawab: “Ya Tuhan, kami percaya.” Lalu Yesus menjamah mata mereka sambil berkata: “Jadilah kepadamu menurut imanmu.” Maka meleklah mata mereka. Dan Yesus pun dengan tegas berpesan kepada mereka, kata-Nya: “Jagalah supaya jangan seorang pun mengetahui hal ini.” Tetapi mereka keluar dan memasyhurkan Dia ke seluruh daerah itu.

***

Sebelum adegan ini, Yesus sudah menyelamatkan dan memulihkan hidup dua perempuan. Ia menyembuhkan perempuan yang sakit pendarahan dan menghidupkan kembali putri Yairus. Kini giliran dua pria buta disembuhkan-Nya. Yesus datang untuk memulihkan semua orang: pria dan wanita, dewasa dan anak-anak. Itulah inti karya Yesus sambil berjalan ke puncak dan penyempurnaan karya itu di kayu salib.

Berbeda dengan konsep kita sekarang, kebutaan pada zaman Yesus adalah kondisi yang sangat fatal, hanya setingkat di bawah kematian. Menyembuhkan mereka yang buta tidak saja berarti memulihkan penglihatan, tetapi terutama memulihkan hidup dan mengembalikan martabat mereka.

Kedua orang buta ini memang layak untuk disembuhkan. Mengapa? Pertama, keduanya “mengikuti” Yesus. Tentu tidak gampang mengikuti Yesus dengan mata yang buta. Kata “mengikuti” adalah verba khas untuk kemuridan. Jadi, keduanya tidak saja mengikuti Yesus secara spasial, tetapi terutama secara rohani: mereka mengikuti sebagai bagian dari para murid-Nya, yaitu orang-orang yang menyertai Dia, serta ingin mendengarkan pengajaran dan menyaksikan semua perbuatan-Nya. Untuk menjadi saksi yang penuh (mendengar dan melihat), mata mereka perlu dibuka. Fakta bahwa mereka itu berdua juga memperkuat peran mereka sebagai saksi yang sah menurut Hukum Taurat. Kesaksian mereka berdua sebagai orang yang pernah mengalami mukjizat Tuhan pasti sah dan berterima.

Kedua, keduanya mengetahui identitas Yesus sebagai “Anak Daud.” Setelah judul dalam Mat. 1:1, di sinilah untuk pertama kalinya Yesus disapa sebagai “Anak Daud.” Kedua orang buta itu meyakini Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan Tuhan bagi umat Israel. Mereka meminta kepada orang yang tepat dan dengan dasar yang tepat. Mesias memang diharapkan untuk juga menyembuhkan orang buta (bdk. Yes. 29:18; 35:5; 42:7).

Ketiga, keduanya juga meyakini Yesus sebagai “Tuhan.” Ini sebuah pengakuan iman bahwa Yesus lebih dari sekadar pembuat mukjizat atau nabi. Oleh karena itu, mereka percaya bahwa Yesus dapat menyembuhkan mereka. Mereka pun lalu diganjar dengan penyembuhan berkat iman mereka itu.

Orang cacat sering kali hanya dilihat sebagai korban, atau sebagai manusia dengan keterbatasan fisik, sebagai penyandang disabilitas. Kita kurang belajar dari mereka. Dalam Injil hari ini, merekalah yang justru mengajar kita untuk beriman. Mereka mengajar kita untuk bertekun dalam doa: terus memohon, kendati awalnya kurang didengarkan. Mereka mengajarkan kita untuk bertahan dalam iman: terus berjalan mengikuti Dia, kendati buta, sering bimbang dan kehilangan pegangan. Mereka mengajar kita untuk bertekun dalam keyakinan: terus percaya bahwa Dia – Yesus, Anak Daud dan Tuhan kita – pasti dapat menyembuhkan dan menyempurnakan kita.