Pada akhir masa kerajaan Yehuda, kitab Ulangan memberi perhatian lebih besar lagi terhadap orang asing. Hal ini mungkin berkaitan dengan sejumlah besar pengungsi kerajaan Israel (wilayah utara) yang setelah tragedi tahun 721 SM mulai hidup di tengah suku Yehuda. Orang-orang asing yang miskin sering disebut berdampingan dengan para janda dan yatim piatu yang wajib dilindungi dan dipelihara (Ul. 14:29; 16:11, 14, dll.; juga Yer. 7:6). Seberkas gandum yang terlupa di ladang dan buah yang tertinggal di pohon zaitun atau di kebun anggur menjadi bagian mereka (Ul. 24:19-22). Persembahan persepuluhan setiap tahun ketiga adalah juga bagi mereka (“untuk orang Lewi, orang asing, anak yatim dan janda,” Ul. 26:12). Tenaga mereka disewa tanpa boleh diperas (Ul. 24:14). Perkara hukum yang menyangkut orang asing harus diputuskan dengan adil (Ul. 1:16) dan hak-hak mereka tidak boleh diperkosa (Ul. 24:17; 27:19).
Selain turut menikmati istirahat Sabat (Ul. 5:14), mereka juga diberi bagian dalam sukacita Hari Raya Tujuh Minggu (Pentakosta) dan Pondok Daun (Ul. 16:10-14). Dalam Ul 10:18 dikatakan bahwa Tuhan, Allah Israel, “menunjukkan kasih-Nya kepada orang asing dengan memberikan kepadanya makanan dan pakaian.” Berdasarkan itu dikatakan kepada umat, “Kamu pun harus menunjukkan kasihmu kepada orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (Ul. 10:19).
Lebih kemudian lagi, dalam undang-undang para imam yang mengatur jemaat pasca pembuangan, tampak suatu integrasi orang asing (ger) yang lebih jauh lagi. Mereka dapat ikut merayakan Paskah, asal saja disunat (Kel. 12:48). Di sini ger mulai dibedakan dari tosyav yang kiranya menunjuk kepada orang asing tak bersunat di tengah umat Israel (Kel. 12:45). Orang asing (ger) juga diikutsertakan dalam Hari Raya Pendamaian (Im. 16:29). Dari banyak peraturan lain yang diberlakukan bagi mereka (Kel. 12:19; Im. 17:8-16; 18:26, dll.) tampak bahwa orang asing (ger) dipandang sebagai proselit, convert, orang asing yang diterima dalam persekutuan umat Israel.
Orang asing ditampilkan juga sebagai orang kaya, hingga memiliki hamba Yahudi (yang tentu perlu ditebus, Im. 25:47-48). Yang miskin di antara mereka tetap menikmati perlindungan bersama orang miskin lainnya (Im. 19:10). Mereka tidak boleh ditindas. Sebaliknya, “orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu; kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir” (Im. 19:33-34). Refrein terakhir ini menunjukkan motivasi sama sejak dahulu, tetapi hasilnya berkembang. Orang asing akhirnya dapat bergabung dalam persekutuan umat Yahudi dan dipandang sebagai warga yang memiliki hak-hak, bahkan ada nubuat tentang hak mereka untuk mendapat milik/tanah pusaka di tengah Israel (Yeh. 47:22).
(Bersambung)