Sebagai Pendatang dan Perantau (1)

157

Beberapa tahun lalu, ketika jalan pagi di pinggir kota Atambua, saya menjumpai banyak keluarga pengungsi Timor Leste di situ. Mereka tidak lagi tinggal di tenda, tetapi masing-masing sudah bertempat tinggal sendiri: ada yang semipermanen, tetapi banyak juga yang sudah dipugar menjadi rumah permanen. Pada pagi itu, mereka sedang siap-siap untuk ikut pemilu yang diadakan pada tanggal 9 April 2009.

Saya tersentak melihat proses integrasi yang begitu cepat. Apakah karena tuan rumah dan pendatang sama-sama berbahasa Tetun? Atau, apakah karena agamanya sama? Berbeda sekali dengan pengungsi-pengungsi Palestina yang setelah setengah abad lebih masih hidup dalam kamp-kamp besar di pelbagai negara di sekitar Israel. Sesungguhnya, di situ pun tidak ada soal menyangkut perbedaan bahasa atau agama. Timbul pertanyaan: apa yang membuat pendatang cepat atau lambat, gampang atau sulit, terintegrasi dalam lingkungannya yang baru?

(Bersambung)