Ketidaktahuan atau kesengajaan?
Menjawab permasalahan ini, pendapat para ahli pada prinsipnya terbagi menjadi dua. Pendapat pertama, penyusun kitab Yudit melakukan kesalahan karena ketidaktahuan. Karena bukan sejarawan, sama seperti kebanyakan orang pada waktu itu, yang bersangkutan tidak bisa membedakan antara orang Asyur dan orang Babel. Akibatnya, Nebukadnezar lalu ia sebut sebagai raja Asyur. Ada juga yang berpendapat bahwa kesalahan ini terjadi karena keterbatasan sumber.[1] Data dan informasi yang terbatas membuat penyusun kitab Yudit mencampuradukkan nama dan peristiwa yang terjadi dalam periode Asyur, Babel, dan Persia. Untuk menyebut contoh lain, silakan dibuka Ydt. 5:1-24. Menempatkan kisah Yudit dalam periode Asyur, dalam perikop ini malah disebutkan tentang peristiwa pembuangan dan kehancuran Bait Allah yang semestinya baru terjadi dalam periode Babel.
Menurut pendapat kedua, kesalahan itu terjadi karena disengaja. Salah satu tokoh yang mendukung pendapat ini adalah Martin Luther. Setelah mendalami kitab Yudit, Luther membuat dua kesimpulan penting. Pertama, kisah Yudit bukanlah catatan sejarah, tetapi merupakan kisah religius yang indah. Kedua, kesalahan-kesalahan dalam kitab Yudit tampaknya merupakan suatu kesengajaan. Penyusun kitab dengan susah payah sengaja membuat berbagai macam kekeliruan agar pembaca sadar bahwa yang mereka hadapi bukanlah laporan sejarah, melainkan kisah pengajaran yang penuh makna.[2]
Pendapat Luther belakangan ini semakin banyak diterima oleh para ahli Kitab Suci. Kesalahan dalam kitab Yudit terlalu jelas dan terlalu banyak. Orang Yahudi sebagai pembaca pertama kitab ini pasti langsung menyadarinya. Nebukadnezar, raja Babel, adalah orang yang menghancurkan Yerusalem dan Bait Allah, serta membuang mereka ke tanah pembuangan. Sementara itu, Asyur adalah kerajaan yang meruntuhkan kerajaan Israel yang ada di wilayah utara. Sebagai korban, orang Yahudi dipastikan mengingat Asyur maupun Babel dengan baik. Sulit diterima kalau mereka sampai keliru menyangka Nebukadnezar sebagai raja Asyur, kecuali kalau hal itu disengaja.[3]
(Bersambung)
[1] Alan Millard, “Judith, Tobit, Ahiqar and History,” dalam New Heaven and New Earth: Prophecy and the Millennium: Essays in Honour of Anthony Gelston, ed. J.P. Harland dan C.T.R. Hayward (Leiden: Brill, 1999), 195-203.
[2] Lawrence M. Wills, “The Book of Judith,” dalam The New Interpreter’s Bible, vol. III (Nashville: Abingdon Press, 1999), 1077.
[3] Ibid., 1097-1098. Lih. juga Carey A. Moore, Judith, The Anchor Bible, vol. 40 (New York: Doubleday, 1985), 124.