Markus 9:38-43, 45, 47-48
Kata Yohanes kepada Yesus: “Guru, kami lihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” Tetapi kata Yesus: “Jangan kamu cegah dia! Sebab tidak seorang pun yang telah mengadakan mujizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa memberi kamu minum secangkir air oleh karena kamu adalah pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya.”
“Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya ini, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut. Dan jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung dari pada dengan utuh kedua tanganmu dibuang ke dalam neraka, ke dalam api yang tak terpadamkan.
Dan jika kakimu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan timpang, dari pada dengan utuh kedua kakimu dicampakkan ke dalam neraka.
Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam Kerajaan Allah dengan bermata satu dari pada dengan bermata dua dicampakkan ke dalam neraka, di mana ulat-ulat bangkai tidak mati dan api tidak padam.”
***
Sekitar bulan Oktober 1997, ketika masih kuliah di Surabaya, saya menerima ajakan teman untuk menghadiri doa bersama peringatan empat puluh hari meninggalnya Santa Teresa dari Kalkuta. Saya terheran-heran setelah mengetahui bahwa yang menyelenggarakan acara itu adalah teman-teman dari PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Bagaimana mungkin mereka yang mengundang kami untuk memperingati hari kematian seorang biarawati Katolik? Ini mengherankan, tetapi sekaligus mengagumkan. Perayaan itu dihadiri oleh orang-orang dari berbagai latar belakang agama, pendidikan, budaya, suku, dan tingkat ekonomi, tetapi semuanya mempunyai kepeduliaan yang sama akan kebaikan dan kebenaran. Semua yang hadir kemudian diberi kesempatan untuk mengekspresikan kenangan, kekaguman, atau apa saja tentang Ibu Teresa lewat puisi, lagu, atau doa. Semua hanyut dalam kenangan akan karya, kesederhanaan, cinta, dan ketulusan Ibu Teresa.
Dalam Injil hari ini, Yohanes melapor kepada Yesus bahwa mereka telah mencegah seorang yang bukan pengikut Yesus mengusir setan demi nama-Nya. Yohanes kiranya menyampaikan hal ini dengan bangga, berharap Yesus merasa senang. Namun, alih-alih senang, Yesus justru melarang mereka mencegah orang itu.
Mungkin kita heran, mengapa Yohanes sampai melarang orang itu berbuat demikian? Dalam diri Yohanes dan murid-murid yang lain kiranya ada perasaan istimewa bahwa mereka adalah pengikut Yesus yang setiap saat ada bersama-Nya. Karena itu, ketika seseorang di luar kelompok mereka bertindak demi nama Yesus, muncul perasaan tidak rela. Mereka merasa, hanya mereka yang berhak bertindak atas nama Yesus.
Paling tidak ada tiga hal yang perlu kita renungkan dari bacaan Injil hari ini. Pertama, menjadi pengikut Kristus bukanlah soal ekslusifitas kelompok, tetapi soal melaksanakan ajaran-Nya. Yesus menekankan bahwa inti kehadiran-Nya bukan soal membentuk kelompok khusus yang berbeda dengan kelompok lain. Yang terpenting adalah orang mendengarkan ajaran-Nya, lalu melaksanakannya dengan hidup dalam kebenaran, kebaikan, dan belas kasih. Karena itu, siapa pun yang melakukan kebaikan, kebenaran, dan belas kasih tidak boleh dilarang, sebab semua hal itu merupakan pelaksanaan ajaran Yesus. Yesus menginginkan kita agar terbuka kepada semua golongan.
Kedua, Yesus memperhitungkan segala perbuatan baik manusia. Sebagai pengikut Yesus, kita bertanggung jawab memberi kesaksian tentang ajaran-Nya. Segala perbuatan dalam kebenaran, kebaikan, dan belas kasih – sekecil apa pun – akan diperhitungkan Tuhan. Yesus menginginkan kita agar hidup sesuai dengan ajaran-Nya. Perbuatan baik orang-orang yang bukan pengikut-Nya pun akan diperhitungkan.
Ketiga, sebagai pengikut Kristus, tujuan akhir kita adalah kehidupan kekal di surga. Kehidupan di dunia ini hanya sementara. Karena itu, hendaknya kita tidak melekatkan diri pada hal-hal duniawi. “Memenggal tangan” dan “mencungkil mata” adalah gambaran ekstrem untuk menegaskan bahwa kita harus berani melepaskan diri dari kenikmatan dan kebahagiaan duniawi demi memperoleh kehidupan abadi di surga kelak.