Salib dan kebangkitan
Kematian Yesus merupakan momen kekerasan yang sangat mengerikan, tetapi kebangkitan-Nya menampilkan tanggapan Allah terhadap situasi tersebut. Bagi pemerintah Romawi, salib merupakan sarana rutin untuk mempertahankan kekuasaan mereka dengan menekan setiap ancaman. Pemimpin Yahudi yang merasa terancam oleh gerakan kenabian Yesus mengira dapat mengatasi masalah itu dengan memanfaatkan jalan kekerasan Romawi tersebut. Kedua belah pihak bersatu dalam anggapan keliru yang sudah umum bahwa eksekusi yang keras merupakan cara ampuh untuk mengakhiri kesulitan dan mengembalikan ketertiban serta kedamaian, padahal respons seperti ini biasanya justru menimbulkan siklus kekerasan baru.
Namun, kali ini lain. Gerakan Yesus ternyata tidak diakhiri dengan penyaliban Yesus, dan juga tidak menimbulkan siklus kekerasan baru. “Bagi umat Kristen, apa yang terjadi atas diri Yesus adalah bahwa Allah telah masuk ke dalam siklus kekerasan untuk mematahkannya dan menawarkan jalan keluar kepada kita … Di dalam Yesus, Allah mewartakan bahwa kita tidak harus hidup dalam cara yang didominasi oleh siklus kemarahan, kebencian, ketakutan, dan kekerasan tanpa akhir. Pemerintahan Allah tidak seperti pemerintahan kekerasan manusia … Itulah sebabnya, Yesus menghadapi kematian-Nya tanpa perlawanan” (Lefebure, 2003:115). Sebagai ganti siklus kekerasan dan maut, Allah – dalam diri Yesus – menawarkan cara hidup yang lain kepada kita. Ia tidak menuntut balasan, “bahkan bersedia dibunuh sebagai korban untuk membangkitkan kita” (Lefebure, 2003:87). Dalam kematian-Nya, Tuhan telah masuk ke dalam siklus kekerasan yang menguasai sejarah dunia. Ia melumpuhkan kekerasan itu.
Kebangkitan memberi kita keyakinan kokoh akan kuasa Allah yang melampaui segala-galanya. Dengan Kristus yang bangkit, kita tidak perlu takut kepada kuasa apa pun di dunia, juga tidak pada kekerasan dunia, sebab semuanya itu bukan penentu terakhir. Kebangkitan Yesus menunjukkan kuasa kasih yang membangkitkan kehidupan di antara puing-puing penderitaan dan maut yang paling kejam sekalipun. Karena itu, kita tidak perlu melarikan diri dari kekuasaan kekerasan, dan juga tidak perlu melawannya dengan senjata. Keduanya berarti kalah. Kalau melawan dengan kekerasan, kita menjadi seperti kekuasaan kejahatan yang kita lawan. Jika melarikan diri, kita membiarkan kejahatan tetap ada.
Yesus menunjukkan jalan ketiga. Di hadapan Pilatus, Ia tidak melawan, tidak menyuruh pasukan malaikat untuk membinasakan Pilatus. Namun, Ia juga tidak menerima otoritas Pilatus. Dalam percakapan yang tenang, Ia meruntuhkan klaim-klaim kekaisaran Romawi sampai Pilatus bingung dan bertanya-tanya (Yoh. 19:10-11). “Yesus meletakkan pola bagi umat Kristen dalam menghadapi kekaisaran Romawi selama tiga ratus tahun kemudian. Umat Kristen menderita penganiayaan, bahkan kemartiran tanpa membalas, tetapi mereka berhasil meruntuhkan seluruh sistem kekuasaan Romawi yang penuh kekerasan.”
(Bersambung)