Markus 9:30-37
Yesus dan murid-murid-Nya berangkat dari situ dan melewati Galilea, dan Yesus tidak mau hal itu diketahui orang; sebab Ia sedang mengajar murid-murid-Nya. Ia berkata kepada mereka: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.” Mereka tidak mengerti perkataan itu, namun segan menanyakannya kepada-Nya.
Kemudian tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Kapernaum. Ketika Yesus sudah di rumah, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: “Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?” Tetapi mereka diam, sebab di tengah jalan tadi mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka. Lalu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid itu. Kata-Nya kepada mereka: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” Maka Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka: “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”
***
Di sebuah paroki, seorang rekan imam mengadakan kegiatan kreatif, yaitu mancing bersama. Kegiatan ini dijalankan dalam dua tahap. Yang pertama terbuka untuk umum, yang kedua dijalankan untuk intern umat Katolik.
Ada kejadian menarik dalam kegiatan yang kedua. Saat itu, para panitia yang sebagian besar adalah umat paroki telah mempersiapkan segalanya, termasuk ikan yang akan dipancing. Karena bersifat intern, panitia pun boleh ikut memancing. Mereka sudah memiliki rencana jitu, yakni dengan memasukkan ikan yang besar-besar ke dalam kolam. Namun, menjelang pertandingan dimulai, romo paroki tiba-tiba mengumumkan, “Karena ini adalah pesta dari kita, oleh kita dan untuk kita, maka pemenangnya adalah orang yang bisa memancing ikan paling kecil.” Pengumuman itu membuat peserta termangu. Seolah tahu isi hati mereka, sang imam lantas berkomentar, “Lomba ini berjudul siapa yang terkecil akan menjadi yang terbesar. Jadi, siapa yang mau menjadi pemimpin harus menjadi pelayan terlebih dahulu.”
Sabda Tuhan dalam Injil Markus hari ini berbicara mengenai hal yang sama. Meski tidak mudah dipahami oleh para murid yang masih saja membicarakan siapa yang terbesar di antara mereka, hari ini Yesus mengumumkan jalan yang harus ditempuh-Nya, yaitu salib. Hal ini tidak bisa dipahami oleh para murid pada waktu itu. Bagi mereka, alasan mereka mempertaruhkan segalanya untuk mengikuti Yesus, sang Guru, adalah untuk mendapatkan ketenaran, popularitas, dan diselamatkan dari penjajahan Romawi. Tidak ada dalam pikiran mereka bahwa Yesus yang mereka ikuti akan melalui jalan sengsara dan wafat di salib. Namun, Yesus tetap mewartakan jalan yang akan ditempuh-Nya itu. Butuh waktu lama bagi para murid untuk memahaminya. Semuanya pelan-pelan baru menjadi jelas bagi mereka beberapa saat setelah Yesus wafat, bangkit, dan naik ke surga.
Bukankah hal demikian sering kali terjadi juga pada kita? Apa yang kita keluhkan ketika tiba-tiba hidup kita terasa berat? Apa yang kita pikirkan manakala hidup kita menjadi sedemikian berantakan? Apa yang kita katakan kepada Tuhan manakala kita menjalani hidup yang berat dan penuh kesengsaraan? Bukankah kita sering kali berharap agar Tuhan cepat datang menolong? Bukankah kita sering kali pula mengancam Tuhan, “Kalau Engkau tidak cepat menolongku, aku tidak akan lagi percaya kepada-Mu”? Jika demikian, apa bedanya kita dengan orang yang mengatakan, “Kalau Engkau memang Anak Allah, turunlah dari salib itu”?
Saudara-saudari sekalian, mari berjalan, memanggul salib kita, dan mengikuti Dia.