Pesta Segera Berlalu (1)

Kritik bagi Mereka yang Hidup secara Berlebihan (Am. 6:1-14)

155

Keberpihakan Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, terhadap mereka yang kecil, miskin, lemah, dan terpinggirkan tidak diragukan lagi. Dengan tegas dinyatakan bahwa orang-orang tersebut harus dibantu (Kel. 22:25), dibela (Kel. 23:6), diperhatikan (Im. 19:10), dan dilindungi (Im. 25:35). Allah senantiasa berada di sisi mereka dan siap sedia turun tangan manakala orang-orang yang dikasihi-Nya itu ditindas oleh pihak-pihak yang berkuasa dan yang memiliki harta berlimpah (Ul. 15:9; 24:15).

Pengalaman Hana dapat dijadikan salah satu contoh (1Sam. 1:1-28). Hana adalah seorang perempuan yang diremehkan, sebab meskipun bersuami, ia tidak memiliki anak. Masyarakat pada masa itu merendahkan dia, sebab mereka berpandangan bahwa kemandulan adalah hukuman dari Tuhan. Karena itu, dapat dimengerti bahwa hari-hari Hana selalu diliputi oleh kesedihan. Siang malam ia berdoa agar Tuhan berkenan “membuka” kandungannya. Ketekunan itu pada akhirnya berbuah manis. Tuhan berkenan memperhatikan penderitaan Hana dan menganugerahkan seorang anak baginya. Anak itu kelak akan menjadi orang yang besar, namanya Samuel. Hana menyambut anugerah tersebut dengan penuh sukacita. Ia pun memuji Tuhan dan bersaksi bagi-Nya: “Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu, dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur, untuk mendudukkan dia bersama-sama dengan para bangsawan, dan membuat dia memiliki kursi kehormatan…” (1Sam. 2:8, selengkapnya 1Sam. 2:1-10).

Israel sendiri dipilih Allah bukan karena bangsa ini besar, makmur, ataupun kuat. Dari segi jumlah, bukankah Israel tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Mesir yang merupakan negara adidaya pada masa itu? Begitu pula mengenai status, bukankah Israel hanyalah bangsa “kelas rendah” mengingat mereka ini hanyalah pengembara yang kemudian menjadi budak dalam jangka waktu yang sangat lama di Mesir? Semua nilai minus tesebut toh tidak menggoyahkan hati Allah untuk memilih Israel menjadi umat-Nya. Ia melakukan itu karena dua hal. Pertama, karena Ia mengasihi mereka. Kedua, karena Ia setia terhadap janji yang telah Ia ikrarkan kepada nenek moyang mereka (Ul. 7:7-8).

Namun, setelah melihat keberpihakan itu, sangat tidak tepat kalau para pembaca Alkitab lalu berkesimpulan bahwa Allah memusuhi orang kaya dan para penguasa. Bagaimana tidak, para bapa bangsa – Abraham, Ishak, dan Yakub – adalah orang-orang kaya. Mereka memiliki kambing domba yang jumlahnya sampai ribuan (Kej. 13:1; 26:12-14; 30:43), dan kekayaan ini justru menjadi tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang diberkati. Musnahnya kemiskinan bahkan menjadi cita-cita bersama yang harus diusahakan orang Israel ketika mereka menetap di tanah yang dijanjikan Tuhan (Ul. 15:4). Mengenai para penguasa, bagaimana mungkin Allah membenci mereka sementara Dia sendirilah yang menunjukkan orang-orang itu untuk menjadi pemimpin atas yang lain. Bukankah Dia yang membuat Yusuf menjadi orang kedua di Mesir setelah Firaun (Kej. 45:7-9)? Bukankah Dia sendiri yang memilih Saul dan Daud untuk menjadi raja atas umat-Nya (1Sam. 10:1; 16:1-13)?

(Bersambung)